Dalam dunia pendidikan kedokteran di Indonesia, salah satu topik yang selalu menjadi sorotan adalah standar kompetensi dokter yang harus dicapai melalui Uji Kompetensi Mahasiswa Program Profesi Dokter (UKMPPD). Banyak yang beranggapan bahwa UKMPPD adalah satu-satunya tolok ukur kelayakan seseorang menjadi dokter, padahal prosesnya jauh lebih kompleks.
Seorang mahasiswa kedokteran harus melalui berbagai tahapan sebelum dapat mengikuti UKMPPD. Secara institusional, setelah menyelesaikan pendidikan sarjana (S.Ked) dan dinyatakan memenuhi standar minimal kompetensi, mahasiswa melanjutkan ke program profesi. Selama pendidikan profesi ini, mahasiswa menjalani berbagai asesmen di institusi, baik dalam bentuk ujian stase maupun Objective Structured Clinical Examination (OSCE). Barulah setelah institusi menilai mereka kompeten, mahasiswa bisa mengikuti UKMPPD yang terdiri dari ujian teori berbasis komputer (MCQ) dan ujian praktik OSCE. Namun, ada tantangan dalam penyelenggaraan pendidikan profesi ini. Salah satu faktor penting adalah keterlibatan institusi dalam mengontrol kualitas pendidikan klinik. Beberapa institusi memiliki rumah sakit pendidikan yang jauh dari kampus, sehingga sulit mengawasi proses pembelajaran mahasiswa secara optimal. Tidak hanya berdasarkan pada penilaian asesmen mahasiswa, akan tetapi manajemen pelaksanaan rotasi klinik berpengaruh pada proses pembelajaran mahasiswa. Hal ini dapat berdampak pada kesiapan mahasiswa saat menghadapi UKMPPD.
Secara nasional, evaluasi terhadap mahasiswa kedokteran dilakukan melalui ujian progres yang dikelola oleh Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia (AIPKI). Ujian ini bersifat opsional dan dapat digunakan oleh beberapa institusi untuk menilai perkembangan mahasiswa sejak tahun-tahun awal. Beberapa universitas menggunakan hasil dari ujian progres sebagai syarat melanjutkan program profesi, sehingga kualitas mahasiswa dapat terjaga sejak dini. Namun, masih ada kesenjangan dalam kualitas pendidikan kedokteran di berbagai institusi. Meskipun standar kompetensi yang ditetapkan bersifat nasional, kemampuan institusi dalam mencapai standar ini berbeda-beda. Beberapa fakultas kedokteran memiliki sistem evaluasi internal yang kuat, sementara yang lain lebih bergantung pada ujian nasional seperti UKMPPD untuk menilai kompetensi mahasiswa.
Mulai tahun 2025, akan diberlakukan kebijakan Penomoran Ijazah dan Sertifikat Profesi Nasional (PISN), yang turut mengatur masa studi maksimal. Untuk pendidikan profesi dokter, membatasi jumlah pengulangan ujian UKMPPD maksimal 12 kali dalam lima tahun. Namun, tidak semua mahasiswa bisa menyelesaikannya tepat waktu. Fenomena ini belum merata di seluruh institusi, namun tengah ditertibkan oleh Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan (Belmawa). Saat ini, dari sekitar 125 fakultas kedokteran yang terdaftar di AIPKI, sebanyak 127 institusi telah mendapat izin operasional hingga Maret 2025, dan 87 di antaranya sudah mengikuti uji kompetensi.
Ketua Panitia Nasional Uji Kompetensi Mahasiswa Program Profesi Dokter, dr. Beta Ahlam Gizela, Sp.F.M.(K)., DFM. menyampaikan hasil rapor uji kompetensi nasional periode 2016–2024, tingkat kegagalan tercatat sekitar 2,6%. Namun, permasalahan utamanya bukan pada banyaknya kegagalan, melainkan akumulasi mahasiswa yang tidak lulus berulang kali tanpa batas yang jelas.
“Dulu, bahkan ada yang sampai 33 kali ujian tanpa dinyatakan drop out oleh institusinya. Kini, dengan PISN, pengulangan dibatasi maksimal 12 kali,” urai dr. Beta yang juga merupakan dosen di Departemen Kedokteran Forensik dan Medikolegal FK-KMK UGM.
Evaluasi terhadap hasil uji kompetensi sebenarnya juga diperlukan untuk melihat apakah lulusan telah memenuhi harapan selama masa internship. Sayangnya, hingga kini pihak penyelenggara pendidikan belum mendapatkan umpan balik yang memadai dari Kementerian Kesehatan terkait hal tersebut. Padahal, informasi ini penting untuk menilai efektivitas UKMPPD dalam menghasilkan dokter yang kompeten.
Inovasi dan Tantangan dalam Penyelenggaraan Uji Kompetensi Pendidikan Dokter
Selama masa kepemimpinan dr. Beta Ahlam, sejak tahun 2023, berbagai inovasi telah diterapkan dalam sistem Uji Kompetensi Mahasiswa Program Profesi Dokter (UKMPPD) untuk meningkatkan mutu, efisiensi, dan keadilan pelaksanaan ujian. Inovasi ini dilakukan baik dari sisi pelaksanaan teknis maupun penguatan kelembagaan institusi pendidikan kedokteran.
- Perbaikan Sistem dan Kolaborasi Institusi
Salah satu langkah besar adalah penguatan peran institusi dalam pengembangan soal ujian, baik untuk ujian berbasis komputer (MCQ CBT) maupun ujian keterampilan klinis (OSCE). Dahulu, hanya institusi tertentu yang berkontribusi dalam penyusunan soal. Kini, setiap institusi diwajibkan untuk menyumbangkan soal serta menjadi reviewer. Hal ini sekaligus meningkatkan kapasitas internal institusi dalam pengembangan ujian.
Sejak tahun 2023, beberapa pos soal yang sebelumnya kurang kini telah terpenuhi. Ini menunjukkan meningkatnya partisipasi institusi dan distribusi tanggung jawab yang lebih merata. Proses review OSCE pun kini dilakukan dua kali: pertama di tingkat klaster wilayah AIPKI dan kedua di tingkat nasional. Pendekatan ini memperkuat kolaborasi antar institusi serta meningkatkan kualitas soal melalui mekanisme peninjauan yang lebih menyeluruh.
Institusi yang terlibat dalam asesmen secara aktif juga mendapat manfaat langsung berupa set soal yang bisa digunakan untuk ujian internal, baik OSCE komprehensif maupun try out CBT. Dengan demikian, inovasi ini tidak hanya memperkuat kualitas ujian nasional tetapi juga memperkaya bank soal institusi.
- Pengembangan Uji Progres
Uji progres merupakan salah satu bentuk pengembangan baru yang dilaksanakan oleh AIPKI, namun gagasan dan pendampingan teknisnya berasal dari tim UKMPPD. Uji ini berakar dari “Uji Tahap Bersama” yang dikembangkan di UGM pada tahun 2018 oleh para tokoh pendidikan kedokteran seperti Prof. dr. Ova Emilia, M.Med.Ed., Sp.OG(K)., Ph.D., Prof. dr. Gandes Retno Rahayu, M.Med.Ed., Ph.D., dr. Beta Ahlam Gizela, Sp.F.M.(K)., DFM., dr. Yoyo Suhoyo, M.Med.Ed., Ph.D., dan Dr. dr. Setyo Purwono, MKes., Sp.PD. Gagasan tersebut kini disempurnakan dan dikelola oleh Divisi Riset dan Pengembangan UKMPPD yang dipimpin oleh dr. Rachmadya Nur Hidayah, MSc, PhD.
Uji progres ini menjadi alat bantu penting untuk menilai perkembangan kompetensi mahasiswa secara berkelanjutan, sehingga institusi dapat mendeteksi kelemahan sejak dini dan menyiapkan intervensi pembelajaran yang tepat.
- Inovasi Teknologi untuk Keamanan dan Efisiensi
Aspek teknologi juga mendapatkan perhatian besar. Masalah keamanan server dan aplikasi ujian yang pernah menjadi kendala, kini diatasi dengan penerapan sistem Virtual Private Network (VPN) host-to-host yang didukung dengan penggunaan perangkat Mikrotik. Semua komputer ujian kini dapat dipantau langsung dari command center, sehingga segala aktivitas selama ujian bisa diawasi secara real-time.
Tim UKMPPD juga mengembangkan sistem deteksi dini (early warning system) untuk mencegah dan mengidentifikasi praktik kecurangan, seperti penggunaan alat komunikasi oleh peserta atau jasa joki. Salah satu pendekatan inovatif adalah segmentasi waktu ujian untuk menjaga fokus peserta dan mengurangi peluang kecurangan.
Secara teknis UKMPPD sudah mapan sejak 2007, pelaksanaan UKMPPD berjalan normal tanpa kendala berarti, penyelenggaraan ujian nasional dan tidak memengaruhi integritas maupun kelangsungan UKMPPD. Tantangan terbesar saat ini adalah masa transisi regulasi dari Undang-undang Pendidikan Kedokteran ke Undang-undang Kesehatan yang baru. Transisi ini menuntut kerja sama lebih erat antara Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Kesehatan, khususnya dalam penyusunan Standar Operasional Prosedur (SOP) bersama. SOP tersebut akan menjadi landasan pelaksanaan ke depan dan saat ini masih dalam tahap kajian.
“Secara teknis, ujian tidak mengalami hambatan besar. Yang menjadi perhatian lebih adalah sinkronisasi dengan regulasi baru agar pelaksanaan ujian tetap relevan dan sah secara hukum,” urai dr. Beta.
Lebih lanjut dr. Beta menyampaikan bahwa idealnya, jika semua institusi pendidikan kedokteran di Indonesia memiliki standar yang sama tinggi seperti Universitas Gadjah Mada (UGM), maka UKMPPD tidak akan lagi diperlukan. Namun, kenyataannya masih ada institusi yang kurang optimal dalam membimbing mahasiswanya hingga mencapai kompetensi yang diperlukan. Oleh karena itu, uji kompetensi tetap menjadi alat penting untuk memastikan bahwa dokter yang dihasilkan benar-benar kompeten dan siap melayani masyarakat.
Standar pendidikan dokter harus terus diperbaiki, bukan hanya dari sisi ujian nasional tetapi juga dari penguatan sistem asesmen di masing-masing institusi. Dengan demikian, kita bisa memastikan bahwa setiap dokter yang lulus benar-benar layak dan siap mengabdi untuk kesehatan masyarakat Indonesia. (Narasumber: dr. Beta Ahlam Gizela, Sp.F.M.(K)., DFM. Penulis: Dian Paramitasari. Editor: Ahmad Hamim Sadewa)