Memahami Bioetika yang Peka Terhadap Budaya melalui Diskusi Raboan

FK-KMK UGM. Program Studi Magister Bioetika Universitas Gadjah Mada berkolaborasi dengan Pusat Kajian Bioetika dan Humaniora Kedokteran FK-KMK UGM kembali mengadakan forum diskusi mingguan “Raboan” pada Rabu (12/02) dengan tema “FOR ALL HUMANITY: Toward a Culturally Sensitive Bioethics,” yang diselenggarakan secara daring.

Diskusi ini mengundang Prof. Syafaatun Almirzanah, MA, M.Th, Ph.D, D.Min (Ketua Center for Religion and Science, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta) sebagai narasumber. Dalam pemaparannya, beliau menyampaikan bahwa kita hidup di dunia yang plural sehingga kita sering mengalami perjumpaan yang beraneka ragam dari tiap individu. Keberagaman inilah yang menjadi landasan untuk hidup secara rukun bersama-sama dan menjadi alasan untuk mengetahui pembelajaran bioetika yang peka terhadap budaya.

Hak asasi manusia yang terdapat dalam Universal Declaration of Human Right dan peraturan lainnya, menegaskan bahwa hak asasi manusia bukan persoalan mayoritas, tetapi mengenai hak semua orang di dalam suatu negara.

“Richard Lieban menciptakan istilah ‘ethnoethics’ yang merujuk pada pemeriksaan masalah etika dalam biomedis di budaya non-Barat.” terang Prof. Syafaatun. Istilah ‘etnoethics’ seharusnya tidak hanya tentang variasi lintas budaya dalam prinsip etika kedokteran, tetapi juga tentang isu dalam masyarakat yang menjadi relevan secara moral atau bermasalah.

Relativisme budaya merupakan pandangan bahwa semua kepercayaan, adat istiadat, dan etika bersifat relatif terhadap individu dalam konteks sosialnya sendiri. Prof. Syafaatun menambahkan bahwa persoalan “benar” dan “salah” bersifat spesifik terhadap budaya tertentu dikarenakan tidak adanya standar moralitas universal sehingga tidak ada seorangpun yang berhak menghakimi kebiasaan masyarakat lain.

Prof. Syafaatun menerangkan bahwa tantangan yang dihadapi ahli bioetika saat ini adalah “bagaimana menghasilkan bioetika yang peka terhadap budaya dan pengalaman hidup, tetapi tetap normatif secara klinis?”. Hal ini berkaitan dengan relativisme etika yang merupakan pengakuan bahwa moralitas bersifat relatif terhadap budaya seseorang.

“Hanya karena setiap budaya memiliki penilaian etika yang berbeda, tidak berarti budaya tersebut dapat dibenarkan dalam menganutnya atau bahwa kita harus menoleransi keyakinan tersebut,” tambah Prof. Syafaatun.

Bidang bioetika tidak dapat bertahan hidup tanpa keyakinan bahwa ada universalitas moral/moral objektif yang melampaui budaya. “Walaupun satu budaya tertentu mempraktikkan tingkah laku moral yang berbeda, di situ mungkin terdapat moral values yang sama yang bisa kita lihat,” ujar Prof. Syafaatun.

Martabat manusia merupakan konsep inti yang mendasari hak asasi manusia. Dokumen dan instrumen internasional utama yang terkait dengan hak asasi manusia dan bioetika secara langsung merujuk pada martabat manusia.

Di akhir pemaparan, Prof. Syafaatun menegaskan bahwa kita hidup lingkungan pluralistik dan hak asasi manusia adalah untuk semua orang, bukan untuk mayoritas, oleh karena itu, orang tidak boleh dikecualikan hanya karena mereka mungkin tidak setuju dengan nilai-nilai mereka yang mengendalikan akses ke kebijakan. Maka, dalam kasus bioetika, ini berarti kita memerlukan bioetika yang peka terhadap budaya.

Seminar Raboan merupakan kegiatan rutin yang dilaksanakan oleh Program Studi Magister Bioetika Universitas Gadjah Mada berkolaborasi dengan Pusat Kajian Bioetika dan Humaniora Kedokteran FK-KMK UGM dengan tema yang beragam. Kegiatan ini terbuka untuk umum. Selain itu, acara seminar ini sejalan dengan SDG 3: Kehidupan Sehat dan Sejahtera, SDG 4: Pendidikan Berkualitas, SDG 5: Kesetaraan Gender, dan SDG 16: Perdamaian, Keadilan, dan Kelembagaan yang Tangguh, dan SDG 17: Kemitraan untuk Mencapai Tujuan. (Humas/Bernadetta Nova Puspitasari).