FK-KMK UGM. Fraktur atau patah tulang merupakan salah satu isu kesehatan global yang berdampak masif bagi penderitanya. Fraktur, defek, atau kerusakan tulang dengan ukuran lebih dari 5 cm disebut dengan defek tulang kritis. Pada kasus defek tulang kritis, terapi pilihan utama atau gold standarnya adalah cangkok atau transplantasi tulang berjenis autograft. Akan tetapi, prosedur tersebut memiliki tingkat komplikasi yang tinggi. Proses penyembuhan yang lama juga menimbulkan dampak tidak langsung pada aspek sosio ekonomi pasien
Selain itu, fraktur atau defek tulang kritis masih menjadi masalah yang dihadapi para dokter ortopedi berkaitan dengan kendala pada terapi rekonstruksi tulang, bahkan pada terapi gold standarnya. Menyadari signifikansi dari pengembangan model alternatif dari penyembuhan defek tulang kritis, lima mahasiswa Universitas Gadjah Mada menciptakan pendekatan baru dalam menangani permasalahan tersebut menggunakan bahan baku yang sering kali dianggap sebagai limbah berupa biofilm kombucha atau SCOBY.
Tim yang terdiri dari lima mahasiswa dari berbagai disiplin ilmu yakni, Muhammad Helmi Fauzan (Program studi Biologi 20/458297/BI/10530), Wafiq Hanifah (Program studi Kedokteran 20/458924/KU/22523), Zulfa Nailil Muna (Program studi Fisika 22/492638/PA/21131), Muhammad Ode Rahmadhani (Program studi Biologi 21/482233/BI/10862), dan Naufal Ahmad Fauzy (Program studi Farmasi 21/477140/FA/13058) di bawah dampingan Ibu drh. Retno Murwanti, MP, PhD menyadari bahwa SCOBY memiliki potensi sebagai biomaterial bahan baku pembuatan scaffold karena memiliki tingkat kemurnian selulosa tinggi yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan sumber selulosa lainnya.
Zulfa selaku salah satu anggota tim yang berasal dari program studi fisika menyatakan perihal pengalaman pertamanya dalam mengerjakan biomaterial fungsional. “Jujur saya masih sangat awam dalam pengerjaan scaffold, namun untungnya banyak individu berpengalaman yang mengajari saya selama pengerjaannya di lab”
Helmi sebagai ketua tim juga memaparkan mengenai konsep alur metode pengerjaan scaffold yang telah mengalami fase trial and error.
“Kami mencari limbah SCOBY dari salah satu produsen minuman kombucha rumahan di jogja, kemudian kami lekukan beberapa tahap pemurnian dengan larutan alkali hingga diperoleh SCOBY bersih yang siap untuk diolah menjadi nanopartikel selulosa” Terang Helmi.
Pembuatan scaffold dengan memadukan bahan lain berupa kolagen dan hidroksiapatit serta polimer pengikat berupa PVA mampu menghasilkan scaffold berbentuk lembaran dengan porositas sebesar X dan benang-benang nano yang memfasilitasi penempelan sel pada scaffold melalui pengamatan menggunakan SEM. Karakterisasi pada scaffold melalui uji FTIR juga menunjukkan keberadaan gugus fosfat pada struktur hidroksiapatit, gugus amida, serta gugus hidroksil pada selulosa.
Kecocokan scaffold terhadap regenerasi tulang diujicobakan terlebih dahulu pada sel lini osteoblas mencit sebagai pengujian awal secara in vitro. Kuantifikasi kecocokan sel terhadap scaffold diuji menggunakan MTT assay dan telaah dengan metode regresi. Tim scaffold juga mengamati penempelan sel pada scaffold menggunakan bantuan SEM.
“Penempelan sel menunjukkan hasil yang signifikan, sel nampak terbenam di dalam lapisan nanofiber dengan tampilan menyerupai gambaran penempelan sel pada acuan pustaka yang kami gunakan” tutur Ode sebagai salah satu anggota tim.
Penggunaan SCOBY sebagai bahan baku scaffold diharapkan dapat menjadi cara baru dari pemanfaatan limbah SCOBY melalui pembuatan biomaterial fungsional serta dapat menjadi rintisan dari prospek pengujian scaffold secara in vivo.
Kajian ini sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan/Sustainable Development Goal’s (SDGs) poin 3 Kehidupan Sehat dan Sejahtera, 4 Pendidikan Berkualitas, 12 Konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab dan poin 17 Kemitraan untuk Mencapai Tujuan. (Kontributor: Muhammad Helmi Fauzan. Editor: Dian/Humas)