FK-KMK UGM. Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) Universitas Gadjah Mada meluluskan mahasiswa Program Studi Doktor, Dr. dr. Anton Sony Wibowo, Sp.THT-KL., M.Sc., FICS, dengan predikat Cumlaude sebagai Doktor Ilmu Kedokteran dan Kesehatan. Dalam ujian terbuka di Auditorium FK-KMK UGM pada Senin, (10/11). dr. Anton memaparkan hasil penelitiannya yang berjudul “Ekspresi mRNA PTEN dan EBER pada Saliva Sebagai Biomarker Potensial untuk Mendeteksi Karsinoma Nasofaring”.
Karsinoma nasofaring merupakan salah satu jenis kanker dengan angka kesakitan dan kematian tinggi di Indonesia. Tantangan utama dalam diagnosis dini kanker ini terletak pada metode deteksi yang masih bersifat invasif dan kompleks. Penelitian yang dilakukan oleh dr. Anton dalam rentang Agustus 2024 hingga April 2025 yang dilakukan di RS Dr. Sardjito dan Rumah Sakit Akademik UGM ini melibatkan pasien karsinoma nasofaring, pasien karsinoma sel skuamosa kepala-leher, serta individu sehat sebagai kelompok kontrol.
“Selama ini, kanker ini relatif sulit dideteksi karena letaknya sangat tersembunyi dan relatif invasit menggunakan biopsi jaringan,” terang dr. Anton dalam pemaparannya.
Melalui penelitian ini, dr. Anton mengeksplorasi saliva cairan tubuh yang mudah diperoleh sebagai bahan pemeriksaan yang mengandung materi genetik seperti RNA, untuk mendeteksi keberadaan gen terkait kanker. Fokus penelitian diarahkan pada dua gen penting, yaitu PTEN dan EBER, yang diyakini memiliki potensi sebagai indikator biologis (biomarker) karsinoma nasofaring. Penelitian ini menggunakan pendekatan observasional analitik dengan desain potong lintang, di mana ekspresi mRNA gen PTEN dan EBER diperiksa melalui metode quantitative PCR (qPCR).
Sebanyak 105 pasien terlibat dalam penelitian ini. Hasil menunjukkan bahwa pada kelompok penderita karsinoma nasofaring, ekspresi gen PTEN secara bermakna lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol (p=0,001). Nilai rata-rata ekspresi PTEN pada kelompok kontrol diketahui 1,89 kali lebih tinggi daripada penderita karsinoma nasofaring. Sementara itu, pada kelompok karsinoma kepala-leher, ekspresi PTEN juga lebih rendah dibanding kontrol (p=0,004), namun tidak berbeda signifikan dengan kelompok karsinoma nasofaring (p=0,108).
Di sisi lain, ekspresi gen EBER menunjukkan hasil yang kontras. Rata-rata ekspresi EBER pada saliva penderita karsinoma nasofaring 7,63 kali lebih tinggi dibandingkan dengan individu kontrol (p=0,004), serta lebih tinggi secara bermakna dibandingkan dengan pasien karsinoma kepala-leher (p=0,004). Hasil ini menunjukkan bahwa EBER berpotensi menjadi biomarker yang sensitif dan spesifik dalam mendeteksi karsinoma nasofaring melalui metode noninvasif berbasis saliva.
“Skrining yang bisa dilakukan pada populasi-populasi tertentu. Pertama bisa kita lakukan pada pasien umur yang paling banyak terjadi, yakni 30-56 tahun. Selain itu, kita juga bisa melakukan skrining pada pasien yang berisiko dan menimbulkan gejala awal.”
Penelitian ini membuka peluang dalam mengembangkan teknologi deteksi kanker yang lebih ramah pasien, cepat, dan efektif. Penggunaan saliva sebagai bahan diagnostik dinilai mampu mengurangi ketergantungan pada prosedur invasif, sehingga dapat meningkatkan deteksi dini dan memperluas akses pemeriksaan kanker di masyarakat. Penelitian dr. Anton juga sejalan dengan SDG 3: Kehidupan Sehat dan Sejahtera melalui peningkatan upaya pencegahan dan deteksi dini penyakit, SDG 4: Pendidikan Berkualitas dengan penguatan riset berbasis ilmu biomedis, serta SDG 9: Industri, Inovasi, dan Infrastruktur melalui pengembangan inovasi teknologi kesehatan yang berorientasi pada solusi lokal untuk masalah global.
Penelitian yang dilakukan dr. Anton ini menegaskan bahwa ekspresi gen PTEN dan EBER dalam saliva memiliki potensi besar sebagai metode deteksi noninvasif karsinoma nasofaring. Dengan pengembangan lebih lanjut, hasil riset ini diharapkan dapat menjadi dasar bagi inovasi pemeriksaan diagnostik kanker yang lebih mudah, murah, dan berkelanjutan. (Humas/Sitam).



