Mahasiswa FK-KMK UGM Teliti Hasil Evaluasi Efektivitas dan Keamanan Remdesivir pada Pasien COVID-19 Berat dan Kritis

FK-KMK UGM.  Program Studi Doktor Ilmu Kedokteran dan Kesehatan FK-KMK UGM meluluskan mahasiswa atas nama dr. Heni Retno Wulan, M.Kes., Sp.PD-KP dengan predikat Cumlaude sebagai Doktor Ilmu Kedokteran dan Kesehatan. Ujian terbuka tersebut dilaksanakan pada Rabu (01/10) di Auditorium Lantai 8 Gedung Tahir Foundation FK-KMK UGM. dr. Heni memaparkan hasil penelitiannya yang berjudul “Efektivitas dan Keamanan Remdesivir Dibanding Oseltamivir pada Pasien Covid-19 Derajat Berat dan Kritis di RSUP Dr. Sardjito”

dr. Heni melakukan penelitian mengenai penggunaan obat antivirus Remdesivir pada pasien COVID-19 derajat berat dan kritis. Penelitian ini dilakukan di RSUP Dr. Sardjito pada September 2020 hingga akhir tahun 2024, dengan tujuan mengevaluasi efektivitas dan keamanan Remdesivir dibandingkan Oseltamivir dalam menatalaksana pasien COVID-19 berdasarkan bukti klinis dan catatan medik.

Penelitian menggunakan desain kohort retrospektif dengan diagnosis COVID-19 yang ditegakkan melalui pemeriksaan PCR SARS-CoV-2. Kelompok pasien yang menerima Remdesivir dibandingkan dengan kelompok yang menerima Oseltamivir. Variabel yang dianalisis mencakup efektivitas terapi dan keamanan obat, dengan indikator utama perbaikan klinis dalam 14 dan 28 hari, masa rawat inap, serta mortalitas pada 28 hari.

“Penelitian ini dilakukan saat gelombang Covid Varian Delta terjadi, sehingga Delta ini mempunyai karakteristik transmisibilitas yang cukup kuat dan klinis yang cukup berat,” terang dr. Heni.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Remdesivir memiliki perbaikan klinis dalam 14 hari dengan RR 0,48 (95% CI 0,39-0,59) dan dalam 28 hari sebesar RR 0,51 (95% CI 0,42-0,61) jika dibandingkan Oseltamivir. Namun, tidak terdapat perbedaan signifikan terkait masa rawat antara kedua kelompok terapi. Sementara itu, mortalitas 28 hari menunjukkan RR 7,19 (95% CI 4,03-12,83), mengindikasikan risiko lebih tinggi pada kelompok Remdesivir. Dari segi keamanan, efek samping berupa hipotensi dan mortalitas lebih tinggi pada pasien yang menerima Remdesivir, sedangkan insiden kebutuhan intubasi endotrakea lebih rendah dibandingkan Oseltamivir.

“Pada pasien kelompok Remdesivir, 50% mengalami derajat kritis kemungkinan dari awal banyak yang sudah mendapatkan ventilasi mekanik, dan telah menerima Remdesivir. Sementara pada kelompok Oseltamivir, tidak menerima Remdesivir dan hanya beberapa yang menerima ventilasi mekanik,” ujar dr. Heni dalam pemaparannya.

Penelitian ini menegaskan bahwa efektivitas Remdesivir dalam memperbaiki kondisi klinis pasien COVID-19 derajat berat dan kritis relatif terbatas, terutama terkait mortalitas. Meski demikian, penggunaan obat ini tetap memiliki nilai klinis, terutama dalam mengurangi kebutuhan intervensi intubasi pada pasien tertentu.

Selain itu, penelitian ini sejalan dengan SDG 3: Kehidupan Sehat dan Sejahtera, karena memberikan informasi penting bagi pengelolaan terapi COVID-19 yang aman dan efektif, SDG 4: Pendidikan Berkualitas maupun SDG 5: Kesetaraan Gender Penelitian ini juga mendukung SDG 9: Industri, Inovasi, dan Infrastruktur, melalui pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi farmasi berbasis bukti, serta SDG 17: Kemitraan untuk Mencapai Tujuan, dengan memperkuat kolaborasi antara institusi akademik dan rumah sakit rujukan dalam penelitian klinis.

Hasil penelitian ini memberikan gambaran komprehensif mengenai efektivitas dan keamanan Remdesivir dibanding Oseltamivir pada pasien COVID-19 berat dan kritis. Temuan ini menjadi penting bagi tenaga kesehatan dalam pengambilan keputusan klinis, sekaligus menegaskan peran FK-KMK UGM dalam mendukung riset berbasis bukti yang berkontribusi terhadap peningkatan kualitas layanan kesehatan dan pengendalian pandemi. (Humas/Sitam).