FK-KMK UGM. Di tempat kerja, perilaku bullying bisa terjadi, namun perilaku bullying tersebut dapat dikendalikan, serta dunia pendidikan rentan terhadap perilaku bullying. Hal tersebut disampaikan oleh Prof. Dra. RA Yayi Suryo Pradandari, M.Si., Ph.D. dalam acara Lunch Discussion “Cegah Diri Melakukan Bully (Perundungan)” yang diselenggarakan oleh FK-KMK UGM, Rabu (10/8) secara daring.
Berbagai bentuk bullying di tempat kerja, seperti pendapat yang diabaikan, diabaikan atau dimusuhi oleh lingkungan kerja, menjadi sasaran kemarahan, tidak menghargai profesi, sering mengkritik, menggosip, mengkritisi, dan dikucilkan. Perilaku bullying tersebut menyebabkan seseorang memiliki rasa kepuasan kerja rendah, kecemasan dan depresi tinggi yang dapat mengakibatkan seseorang berhenti bekerja.
“Hal ini memberi dampak bagi organisasi berupa kerugian biaya organisasi karena mobilitas keluar masuk karyawan tinggi ataupun karyawan banyak absen,” urai Prof. Yayi dari Departemen Perilaku, Kesehatan Lingkungan dan Kedokteran Sosial FK-KMK.
Lebih lanjut, Prof. Yayi menyampaikan bahwa UGM telah berkomitmen mewujudkan kampus sehat bagi seluruh warga UGM melalui program Health Promoting University (HPU) sejak tahun 2019. Salah satunya programnya mengenai zero tolerance kekerasan, perundungan dan pelecehan. Namun demikian, perilaku perundungan dapat dikendalikan dengan cara menciptakan lingkungan suportif yaitu 1) meningkatkan kesadaran mengenai pendidikan suportif, 2) menciptakan lingkungan pendidikan yang suportif, dan 3) tercipta budaya suportif
Beberapa strategi yang bisa dilakukan untuk mencegah perilaku perundungan dilingkungan kerja yaitu mengembangkan perilaku positif, peer mediasi, menyelesaikan konflik, ada program pengakuan apa yang terjadi, ada program anti-bullying, dan program mentoring.
Sri Wiyanti Eddyono, SH., LLM(HR)., Ph.D juga menyampaikan bahwa pencegahan perilaku bullying di lingkungan kerja dapat dilakukan dengan cara melakukan sosialisasi yang berkelanjutan mengenai bullying, bahkan kebijakan. UGM telah memiliki peraturan Rektor tahun 2013 tentang Tata Perilaku Mahasiswa, keputusan Rektor tahun 2004 tentang Kode Etik Dosen, serta peraturan Rektor No. 1 tahun 2020 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual.
Perilaku bullying kerap kali dianggap biasa atau candaan sebagai cara untuk memecah suasana, seperti ungkapan seksis, rasis dan komentar terhadap penampilan seseorang di kelas. Mengubah budaya tidak mentolerir perilaku bullying serta perlu adanya gerakan dengan slogan atau tagline perlu digalakkan. “Mengubah budaya perilaku tidak mentolerir dan ada gerakan yang menyatakan tidak pada perundungan, ‘EIT… itu bullying loh…’ harus dimulai”, ungkap Sri Wiyanti Eddyono, SH., LLM(HR)., Ph.D asisten profesor Departemen Hukum Pidana, Fakultas Hukum UGM.
(Dian/IRO)