Kurangnya Tenaga Kesehatan pada DTKP

Selasa, 24 Maret 2015, Kelompok Kerja (Pokja) Pendidikan Kedokteran dan Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK UGM menyelenggarakan seminar dengan tema “Potensi dan Peran Institusi Pendidikan dalam Penyediaan Tenaga Kesehatan untuk Daerah Terpencil, Kepulauan, dan Perbatasan”. Seminar yang merupakan rangkaian acara dalam kegiatan Annual Scientific Meeting (ASM) 2015 kali ini membahas permasalahan yang terjadi di Daerah Terpencil, Kepulauan, dan Perbatasan (DTKP), pembangunan bidang kesehatan DTKP, serta peran institusi pendidikan dalam pelayanan kesehatan DTKP. Seminar resmi dibuka oleh dr. Ova Emilia, M.Med.Ed, Sp.OG(K), Ph.D. selaku Wakil Dekan Bidang Akademik, Kemahasiswaan, dan Alumni FK UGM.

Seminar dibagi menjadi tiga panel, pertama membahas pembangunan bidang kesehatan di DTKP, kedua membahas peran fakultas kedokteran dalam pemenuhan kebutuhan dokter di DTKP, dan panel ketiga yang membahas rencana tindak lanjut dan rekomendasi. Jalannya ketiga panel tersebut dimoderatori oleh ketua panitia, dr. Mushtofa Kamal. Panel pertama diisi oleh narasumber Dr. dr. Dwi Handono Sulityo, M.Kes, Ni Luh Putu Eka Andayani, SKM, M.Kes., dr. Supriyadi dan dr. Fajar Waskito, Sp.KK(K)., M.Kes.

dr. Dwi Handono memaparkan permasalahan yang ada di DTKP seperti kurangnya tenaga kesehatan, kurangnya akses menuju pelayanan kesehatan, dan kebijakan pemerintah daerah yang kurang sesuai. Padahal, keadaan kesehatan di DTKP sangatlah kurang dari standar kesehatan yang ada di Indonesia. Seperti di Nusa Tenggara Barat yang menduduki peringkat dua kematian ibu dan anak tertinggi di Indonesia setelah Papua. Tenaga kesehatan yang ditugaskan di DTKP, terutama dokter, juga masih jarang ditemui. Mereka cenderung memilih bekerja di kota-kota besar seperti Jakarta, Semarang, Yogyakarta, dan Bali. Hal ini dikarenakan akses transportasi di DTKP masih buruk, fasilitas yang kurang memadai, serta upah yang diberikan masih belum sesuai dengan pengorbanan yang mereka lakukan.

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh tim penelitian remunerasi dokter di Nusa Tenggara Timur, Ni Luh Putu Eka Andayani mengatakan bahwa dari empat kabupaten di NTT, para dokter mengaku kurang puas dengan sistem penerimaan remunerasi. Sebelum masa BPJS, penilaian remunerasi berpatokan dengan banyaknya jumlah pasien yang ditangani, sedangkan pada masa BPJS kali ini berpatokan dengan jabatan masing-masing dokter umum maupun dokter spesialis. Selain itu, para dokter mengaku transparasi informasi dari pemerintah juga masih kurang.

dr. Fajar Waskito, Dekan FK Universitas Tadulako menambahkan, rumah sakit di DTKP juga menerapkan sistem penerimaan tenaga kesehatan dari perguruan tinggi yang terakreditasi A atau B, sedangkan semua perguruan tinggi di DTKP paling tinggi baru berakreditasi C. Hal ini membuat DTKP mengalami kekurangan tenaga kesehatan.

Menurut drs. Supriadi selaku perwakilan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, DTKP memang memiliki kekurangan di segi SDM (bidang pendidikan, kesehatan, dan daya beli), ekonomi, infrastruktur, serta karakteristik daerah (rawan konflik dan bencana). Sehingga perlu dilakukan upaya mendekatkan pelayanan ke masyarakat secara langsung, meningkatkan kapasitas tenaga kesehatan, dan meningkatkan pelayanan yang bersifat preventive (menyediakan air bersih, sanitasi, dan pendidikan kesehatan). Oleh karena itu, diperlukan kerja sama antara pihak kementrian kesehatan, pemerintah daerah, tenaga kesehatan, serta masyarakat.

Pada panel kedua, dr. Tridjoko Hadianto, DTM&H., M.Kes. memaparkan bahwa kesiapan dokter dalam menghadapi keadaan di DTKP harus dimulai sejak dini, yaitu sejak masa pendidikan sarjana, maka dari itu perubahan kurikulum perlu dilakukan. Perubahan kurikulum bisa berbentuk dalam perubahan tema kurikulum, situasi pembelajaran, strategi pendidikan, sarana dan alat pendidikan, metode assessment, dan struktur pendukung seperti dosen dan fasilitas pendidikan. Dalam merencanakan kurikulum, haruslah sesuai dengan keadaan mahasiswa, dosen pendidik, fasilitas, serta kebutuhan pasar. Perencanaan kurikulum dimulai dari mengidentifikasi kebutuhan, menetapkan outcome pendidikan, menyusun dan menyepakati isi pembelajaran, memutuskan strategi pendidikan, merancang assessment, sosialisasi kurikulum, meningkatkan lingkungan pendidikan, dan memanage kurikulum sebagai bentuk evaluasi.

dr. Ova Emilia menambahkan, institusi pendidikan kesehatan mempunyai tantangan dalam menciptakan lulusan yang sesuai dengan kebutuhan pasar, terutama untuk daerah rural. Pembuatan desain pasar akan berjalan lambat jika tidak ada komunikasi antara institusi pendidikan dengan pihak pemerintah daerah dan kementrian kesehatan.

dr. Arsitawati Pudji Raharjo, Ph.D Kementerian Riset-Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Dirjen Dikti memaparkan bahwa persebaran fakultas kedokteraan di daerah rural tidak merata. Kurikulum yang diterapkan juga haruslah menanamkan professional behaviour, prinsip bioetika, serta moral untuk meningkatkan minat mahasiwa untuk menjadi dokter rural. Mahasiswa haruslah memiliki sikap empati, kemampuan networking lintas segmen, dan berwawasan nusantara. Hal ini perlu penanganan lintas kementrian untuk memberi pembinaan khusus bagi institusi pendidikan, pemerintah daerah, dan masyarakat.

Memasuki panel ketiga, dr. Kamba Muhamad Taufik, M.Kes., BUKD, Kementerian Kesehatan memaparkan pembahasan, rencana tindak lanjut, dan rekomendasi untuk masalah di daerah terpencil, kepulauan, dan perbatasan. Beliau mengemukakan bahwa kolaborasi antara stakeholder dalam pemenuhan dokter di DTKP harus diperhatikan. Penguatan pelayanan kesehatan primer juga sangat dibutuhkan. Program pemerintah seperti JKN/BPJS haruslah diperkuat karena selama ini dirasa masih kurang efektif. Strategi yang dapat dilakukan adalah dengan cara meningkatkan akses dan mutu kesehatan yang berporos pada pengaturan standarisasi alat, sarana, dokter, dan pelayanan kesehatan. Selain itu, strategi sister hospital, penugasan tenaga kesehatan berbasis tim, rekruitmen pendidikan spesialis, serta program Nusantara Sehat yang merupakan kolaborasi antara dokter, bidan, perawat, dan tenaga kesehatan lain juga perlu dikembangkan. Rencana perbaikan ini juga perlu dukungan dari pihak swasta, masyarakat, institusi pendidikan, dan mahasiswa sebagai agen perubahan Indonesia. (Sherli/Reporter)