KOMPAK Melawan Stigma Bagi Penderita Psoriasis dan Vitiligo

FK-KMK UGM. Dalam memperingati World Psoriasis Day pada 29 Oktober 2024, Departemen Dermatologi dan Venereologi Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (DV FK-KMK UGM) bersama komunitas kawan.KOMPAK yang digagas oleh dr. Arief Budiyanto, Ph.D, Sp.D.V.E, Subsp.O.B.K menggelar seminar bertajuk “Berdaya Bersama: Talkshow Kupas Tuntas Psoriasis dan Vitiligo dalam Rangka World Psoriasis Day” pada Selasa (29/10) di Gedung Radiopoetro, FK-KMK UGM.

Komunitas yang dibentuk pada 2024 ini ditujukan sebagai wadah pendukung dan edukasi bagi para penderita penyakit autoimun, seperti psoriasis dan vitiligo, serta keluarganya sebagai pendamping.

“Acara ini diadakan sebagai sarana komunikasi bagi pasien dan keluarga, terlebih lagi, penyakit ini masih belum banyak dipahami masyarakat sehingga menimbulkan stigma,” ujar Prof. Dr. med. dr. Retno Danarti, Sp.KK(K), Ketua Departemen Dermatologi dan Venereologi FK-KMK UGM.

Psoriasis dan vitiligo adalah penyakit autoimun yang disebabkan oleh faktor genetik dan lingkungan, bukan karena infeksi, sehingga tidak menular.

“Banyak mitos yang menyebutkan bahwa penyakit ini menular. Padahal, autoimun terjadi karena sel tubuh menyerang diri sendiri. Jadi, tidak ada risiko penularan,” jelas dr. Shinta Trilaksmi Dewi, Ph.D, Sp.D.V.E.

Ia juga menambahkan bahwa penderita perlu berhati-hati dalam penggunaan obat, terutama yang mengandung metilprednisolon dan kloderma, yang hanya boleh digunakan dengan resep dokter.

Berdasarkan pengalaman Rahmawati Novitasari, pendamping seorang balita bernama AH yang mengalami vitiligo sejak usia 2,5 tahun.

“Jarak antara rumah kami dan RSUP Dr. Sardjito sekitar 60 km. Meski fisik terasa lelah, kami tetap semangat. Setiap konsultasi, saya selalu memberi tahu AH bahwa dokter di sana sangat baik, agar ia merasa nyaman,” ungkap Rahmawati.

Menurut Dra. Sri Kusrohmaniah, M.Si., Ph.D., psikolog, menjelaskan bahwa stigma masyarakat terhadap penyakit yang terlihat pada kulit dapat berdampak negatif pada kesehatan mental pasien.

“Penolakan terhadap kondisi ini sering muncul karena stigma, apalagi ini penyakit yang langsung terlihat. Pendekatan psikologis, seperti dukungan terhadap pengelolaan stres dan upaya melawan stigma, sangat penting,” tutur Sri.

Bagi Chiara Lionel Salim, seorang penyintas psoriasis sekaligus Duta International Federation of Psoriasis Associations (IFPA), perjalanan menghadapi psoriasis dimulai sejak Ia berusia 9 tahun.

“Dulu saya didiagnosis macam-macam hingga semakin parah karena pengobatan yang berubah-ubah. Tetapi, sekarang saya percaya bahwa psoriasis isn’t a burden, but a privilege,” ucapnya.

Chiara pernah mengalami diskriminasi saat berbelanja di mal, di mana ia dilarang mencoba pakaian karena dianggap dapat menularkan penyakit kulit tersebut.

Tidak hanya Rahma dan Chiara, penyintas lainnya pun turut menceritakan pengalaman mereka. Peserta berinisial ‘BK’ asal Gunungkidul, misalnya, mengungkapkan bahwa sebelum mendapatkan penanganan medis yang tepat, ia sempat mencoba berbagai obat tanpa pengawasan hingga kulitnya mengalami luka.

Oleh karena itu, Kawan.KOMPAK berharap kegiatan ini mampu menjadi ajang edukasi dan dukungan bagi para penderita autoimun dan keluarganya. Dengan meningkatnya kesadaran masyarakat, komunitas ini optimis dapat membantu meminimalisir stigma dan memperbaiki kualitas hidup para penyintas psoriasis dan vitiligo.

Giat ini sejalan dengan komitmen FK-KMK UGM terhadap Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) yakni Kehidupan Sehat dan Sejahtera (SDG 3), Pendidikan Berkualitas (SDG 4), Industri, Inovasi, dan Infrastruktur (SDG 9), Berkurangnya Kesenjangan (SDG 10), Konsumsi dan Produksi yang Bertanggung Jawab (SDG 12) serta Kemitraan Untuk Mencapai Tujuan (SDG 17). (Isroq Adi Subakti/Reporter).