FKKMK-UGM. Data UNICEF tahun 2016 menunjukkan bahwa kekerasan pada sesama remaja di Indonesia diperkirakan mencapai 50 persen. Sedangkan dilansir dari data Kementerian Kesehatan RI 2017, terdapat 3,8 persen pelajar dan mahasiswa yang menyatakan pernah menyalahgunakan narkotika dan obat berbahaya.
Keterbatasan data terkait kekerasan pada remaja, maupun kurangnya upaya sistemik untuk monitoring ataupun intervensi pencegahan penyimpangan perilaku pada remaja masih menjadi permasalahan bersama. Saat ini upaya penguatan regulasi dan penegakan hukum sudah dilakukan, akan tetapi dirasakan belum cukup efektif untuk pencegahan jangka panjang terjadinya kekerasan berulang.
Perkembangan kekerasan remaja kini sudah mengarah pada tingkat kejahatan. ‘Klithih’, menjadi permasalahan serius di masyarakat akhir-akhir ini, terutama di Yogyakarta.
“Klithih, adalah bagian dari perkembangan kekerasan remaja yang terjadi karena kita ragu-ragu untuk bertindak tegas. Klithih sudah menjadi kejahatan berkelompok. Saat code of ethics dilanggar, sudah saatnya ditindak tegas,” ungkap Dr. Budiono Santoso, SpFK., PhD., Rabu (14/3) di ruang kuliah 3 FKKMK UGM, saat memaparkan materi terkait kekerasan di kalangan remaja, melalui tinjauan kesehatan publik untuk pencegahan.
Dr. dr. Budi Pratiti, SpKJ, juga menambahkan bahwa sejatinya ‘Klithih’ sudah ada sejak dulu, dan cukup khas dikenal di Yogyakarta. “Klithih, kalau menurut orang Jawa adalah mencari angin. Namun saat ini sudah berkembang menjadi kekerasan. Klithih sudah menjadi ruang apresiasi diri atas rasa bangga remaja di hadapan kerumunan teman sebaya,” jelasnya.
Dokter ahli kesehatan jiwa ini juga mengungkapkan jika motif remaja klithih bisa beragam. Dari keragaman tersebut, mayoritas dipengaruhi oleh faktor-faktor biologis, psikologis dan lingkungan sosial maupun spiritual dan psikososial.
Menurut hasil penelusuran Prof. Dr. Endang Ekowarni terkait kondisi psikologis anak yang berisiko melakukan agresivitas, banyak ditemukan remaja tidak paham mengenai hukum. “Mereka tidak paham risiko, maupun dampak yang muncul akibat perbuatannya. Ketidakpahaman mengenai hukum, menjadi salah satu penyebab. Oleh karenanya, untuk membuat remaja lebih melek hukum, pemahaman hukum perlu dimasukkan dalam kurikulum,” papar ahli psikologi ini.
Seminar awam dengan tajuk,”Pencegahan Kekerasan di Kalangan Remaja: Mengapa ‘Klithih’, ini merupakan rangkaian kegiatan Annual Scientific Meeting (ASM) 2018 FKKMK UGM. Kegiatan ini juga mengundang praktisi pendidikan dan pihak-pihak terkait dengan remaja untuk mendorong upaya intervensi yang berhubungan dengan pencegahan kekerasan dan penyimpangan perilaku di kalangan remaja.
Pertama, dengan membahas faktor yang berpengaruh pada epidemik kekerasan dan penyimpangan perilaku di kalangan remaja, beserta dampaknya. Kedua, menggali upaya promosi kesehatan mental dan pencegahan kekerasan serta penyimpangan perilaku di kalangan remaja. Ketiga, mendorong dilakukannya upaya sistematik berupa pengkajian dan penelitian akan kemanfaatan tindakan-tindakan pencegahan dan promosi kesehatan mental.
“Seminar ini juga merupakan bentuk upaya KAGAMADOK dalam menjalankan misinya untuk mengembangkan serta menerapkan ilmu serta keahliannya dalam bidang kedokteran dan kesehatan dalam memecahkan permasalahan masyarakat”, ungkap Dr. Budiono Santosa yang juga mewakili KAGAMADOK.
Kegiatan seminar juga menghadirkan narasumber dari Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga DIY, Kepala SMA N 6 Yogyakarta, dengan moderator panel sesi pertama Prof. Dra. Yayi Suryo Prabandari, MSi., PhD., yang sekaligus menjabat sebagai Ketua ASM 2018. (Wiwin/IRO).