Kalbar Kesulitan Melacak Kasus TB Selama Pandemi COVID-19

Demi menjawab persoalan TB di Indonesia, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sudah menyelenggarakan Program Tuberkulosis Nasional (PTN) dengan memberdayakan masyarakat. Sayangnya, program tersebut belum sepenuhnya diterjemahkan ke dalam peraturan tingkat daerah. Dilihat dari kebijakan anggaran dan standar pelayanan minimum, program TB masih difokuskan untuk melakukan upaya penyembuhan dibandingkan dengan upaya pencarian kasus dengan pemberdayaan masyarakat. Akibatnya, program pemberdayaan tidak bekerja atau berjalan dengan sumber daya masyarakat yang tidak terlatih.

Masalah pelaksanaan Program Tuberkulosis Nasional menjadi lebih krusial selama pandemi COVID-19. Selama pandemi COVID-19 terjadi gangguan pencatatan kasus TB di Kalimantan Barat. Gangguan tersebut terlihat pada data pencatatan kasus TB di Kalimantan Barat pada 2020, turun dari 8.364 pada tahun 2019 menjadi 6.341 pada tahun 2020 dengan Case Notification Rate (Angka Pemberitahuan Kasus) 123,5 per 100.000 penduduk. Alasan penurunan pencatatan ini dikarenakan petugas kesehatan di lapangan banyak yang ditugaskan untuk menangani COVID-19. Kenyataan tersebut menunjukkan urgensi pemerintah daerah untuk segera memprioritaskan pemberdayaan masyarakat dalam membantu program TB, demi meningkatkan upaya pencatatan kasus TB.

Indonesia merupakan negara ketiga dengan kasus tuberkulosis (TB) tertinggi di dunia, dengan perkiraan sekitar 20 – 33% kasus TB tidak terlaporkan. Salah satu daerah dengan kasus TB yang tinggi adalah Kalimantan Barat. Data kasus TB dari Provinsi Kalimantan Barat sebelum pandemi COVID-19 (2018-2019) menunjukan terdapat peningkatan pencatatan jumlah kasus sebanyak dua kali lipat. Peningkatan tersebut dari 4.444 kasus menjadi 8.364 kasus dengan Case Notification Rate (Angka Pemberitahuan Kasus) 88.85 per 100.000 penduduk menjadi 165 per 100.00 penduduk. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat temuan kasus TB adalah komitmen pemerintah daerah yang lemah, keterlibatan masyarakat yang rendah dalam menemukan kasus- kasus baru, dan kurangnya dana untuk program ini.

Melihat permasalahan ini, Universitas Tanjungpura bersama Pusat Kebijakan Manajemen Kesehatan (PKMK) Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) Universitas Gadjah Mada (UGM) merilis dokumen kebijakan guna meningkatkan kemandirian masyarakat dalam program pengendalian TB, khususnya untuk wilayah Kalimantan Barat. Peneliti Universitas Tanjungpura Agus Fitriangga menyatakan dalam upaya penanggulangan TB, Puskesmas memainkan peran yang sangat penting dalam menemukan kasus TBC baik secara aktif maupun pasif. Temuan kasus aktif dengan melibatkan masyarakat sangat penting untuk menjadi perhatian. Dalam kajiannya, Agus Fitriangga menemukan bahwa intervensi temuan kasus aktif dapat meningkatkan keberhasilan pengobatan dan mengurangi kegagalan pengobatan tuberkulosis, kematian, dan default. Namun di lapangan masih banyak permasalahan dalam peningkatan peran Puskesmas ini.

“Kondisi di lapangan menunjukkan bahwa koordinasi antar sektoral rendah dan peran puskesmas dalam melibatkan masyarakat dalam program pengendalian TBC masih belum maksimal, ditambah lagi dengan rendahnya komitmen politik pemerintah daerah. Hal ini menjadi faktor penghambat pengendalian program TB,” jelas Agus Fitriangga.

Dalam dokumen kebijakan berjudul “Meningkatkan Kemandirian Masyarakat dalam Program Pengendalian TB di Kalimantan Barat, Indonesia” Agus Fitriangga mengusulkan opsi kebijakan untuk mengatasi masalah ini. Opsi pertama adalah memperkuat komitmen pemerintah pusat dan daerah untuk meningkatkan temuan kasus berbasis masyarakat dalam program TB. Agus Fitriangga mendorong ditetapkan dan diimplementasikannya Standar Pelayanan Minimum (SPM) Kesehatan di Kabupaten Kota. Selai itu kedepannya semua daerah didorong untuk menginternalisasi program pengendalian dan pengendalian TB ke dalam dokumen perencanaan dan penganggaran pembangunan daerah.

Opsi kedua adalah meningkatkan kapasitas tenaga kesehatan masyarakat dalam menemukan kasus TB. Penting untuk memastikan ketersediaan petugas puskesmas yang dapat memberikan edukasi kepada masyarakat untuk mengidentifikasi orang yang terjangkit TB dan membantu pasien TB dalam menjalani perawatan hingga selesai.

Opsi ketiga adalah memastikan ketersediaan anggaran program TB untuk kegiatan pemberdayaan masyarakat.Pengadaan anggaran untuk TB ini penting lantaran Indonesia sudah masuk sebagai Upper Lower Middle Income Countries. Hal ini membuat Indonesia tidak lagi menjadi negara prioritas utama untuk menerima bantuan donor internasional. Sumber pembiayaan program pengendalian TB yang telah berjalan selama ini berasal dari pemerintah dan dana donor internasional. (Agus Fitriangga/Kontributor/PKMK FK-KMK UGM)