Yogyakarta – Memasuki awal minggu kedua paska libur Idul Fitri 1436 H, Keluarga besar Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada/FK UGM mengadakan acara Syawalan/Istihlal tahun 2015. Kegiatan rutin tahunan yang merupakan ajang silaturahim ini dihadiri oleh jajaran Dekanat dan Direksi serta seluruh civitas akademika FK UGM dan civitas hospitalia RSUP Dr. Sardjito. Bertempat di auditorium FK UGM, hadir sebagai penceramah Dr. H. Ahmad Wijayanto, MA. Dalam paparannya penceramah mengupas tentang “istihlal” sebagai pra syarat diterimanya amal ibadah seorang manusia. “Kalau tidak istihlal, maka amal kita tidak akan sampai ke langit, tetapi hanya sampai langit-langit”, papar penceramah di awal ceramahnya. Ceramah santai yang diwarnai dengan cerita-cerita lucu ini menarik hadirin sampai usai acara.
Istihlal bukan sekedar halal bil halal. Kata istihlal merupakan bentuk masdar dari kata istahlala (‘ala wazni istaf’ala) yang artinya meminta halal. Artinya setiap manusia diperintahkan untuk mencintai meminta maaf ketika salah, dan mencintai memberi maaf ketika diminta. Makna kata ini sangat dalam dan komprehensif untuk momen semacam ini. Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah –shallallohu ‘alaihu wa sallam– bersabda: “Barang siapa melakukan kezhaliman kepada saudaranya, hendaklah meminta dihalalkan (dimaafkan) darinya; karena di sana (akhirat) tidak ada lagi perhitungan dinar dan dirham, sebelum kebaikannya diberikan kepada saudaranya, dan jika ia tidak punya kebaikan lagi, maka keburukan saudaranya itu akan diambil dan diberikan kepadanya”. (HR. al-Bukhari nomor 6.169)
Istihlal harus dilakukan oleh seorang anak kepada orang tuanya, karena ridhlo Alloh kepada seorang anak bergantung dengan ridho kedua orang tuanya. Demikian pula seorang istri harus istihlal kepada suaminya, dan setiap manusia untuk meminta istihlal dari sesama manusia untuk saling mendapatkan keridhoan. Istihlal adalah akhlak mulia tetapi sulit dijalankan oleh manusia, kecuali kita mau mencontoh Rasulullah SAW. Menurut ulama besar Imam Al Ghozali, manusia digolongkan menjadi 4 jenis: 1) mudah marah dan sulit memaafkan, 2) sulit marah dan sulit memaafkan, 3) mudah marah dan mudah memaafkan, 4) sulit marah dan mudah memaafkan, yang terakhir inilah akhlak yang dicontohkan Rasulullah SAW. Bahkan kepada orang yang memutuskan silaturahmi pun Rasulullah SAW perintahkan untuk menyambungnya, kepada orang yang berbuat salah kita dianjurkan untuk memaafkannya, dan kepada orang yang mendzolimi pun kita diperintahkannya untuk mendoakan kebaikan kepadanya.
Di akhir presentasinya penceramah mengingatkan kembali agar seluruh hadirin untuk kembali ke fitrah manusia. Puasa Ramadhan mengajarkan kepada manusia untuk kembali kepada kebenaran, kesucian, keindahan dan kebaikan. [ARIS]