Indonesia menempati posisi ketiga dalam konsumsi minuman berpemanis di Asia Tenggara, dengan jumlah konsumsi sebanyak 20,23 liter/orang/tahun. Tingginya konsumsi minuman berpemanis ini berkontribusi pada tingginya angka kematian dan sakit akibat kelebihan berat badan, obesitas, serta penyakit tidak menular (PTM) seperti diabetes dan penyakit kardiovaskular. Saat ini, empat puluh tiga juta anak usia 0–5 tahun di seluruh dunia mengalami obesitas atau kelebihan berat badan, dan prevalensi obesitas pada anak diperkirakan meningkat dari 4,2% pada tahun 1990 menjadi 9,1% pada tahun 2020. Di Indonesia, kasus PTM telah menjadi beban bagi masyarakat karena BPJS Kesehatan harus membayar 14,4 triliun pada 2017 untuk menangani kasus tersebut.
Tingginya konsumsi minuman berpemanis di Indonesia dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor pertama ialah lemahnya sistem regulasi di Indonesia yang mengatur tentang penjualan minuman manis. Dalam UUD 1945 atau peraturan kementerian, tidak ada definisi standar minuman manis. Tidak adanya definisi standar ini menyebabkan minuman manis tidak dapat dijadikan sebagai produk regulasi.
Faktor kedua ialah terjangkaunya harga minuman manis di Indonesia. Rata-rata penjualan produk minuman manis di toko online seharga Rp 1.500,00 per 180 ml. Faktor ketiga ialah gencarnya pemasaran minuman manis, salah satunya melalui iklan media massa. Di Indonesia, iklan minuman manis ditayangkan secara luas di keempat stasiun televisi swasta di Indonesia. Waktu penayangan iklan ini paling tinggi pada hari Sabtu dan Minggu ketika program anak-anak ditayangkan pada pukul 06.00-21.00 WIB. Fakta saat ini di Indonesia, 62% anak mengonsumsi minuman berpemanis setidaknya seminggu sekali.
Anak-anak merupakan salah satu kelompok yang cukup terpapar dengan produk minuman manis. Sebuah penelitian di SDN Kebon Jeruk 01 Jakarta menunjukkan bahwa mayoritas jajanan yang dijual di kantin sekolah ialah makanan tinggi lemak dan kalori serta minuman tinggi gula. Tidak hanya di Jakarta, penelitian di Semarang menunjukkan sampel makanan dan minuman di sekolah-sekolah ternyata mengandung pemanis buatan seperti sakarin dan siklamat. Hal diperkuat dengan pernyataan Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Semarang yang menyebutkan sekitar 66,7% makanan dan jajanan anak sekolah di Jawa Tengah belum memenuhi syarat kesehatan.
Masalah ini harus diatasi segera. Guna mengatasi masalah ini, Pusat Kebijakan Manajemen Kesehatan Universitas Gadjah Mada (PKMK UGM) mengusulkan beberapa rekomendasi kebijakan. Rekomendasi kebijakan pertama ialah mengatasi permasalahan ketersediaan, aksesibilitas, dan pemasaran produk minuman dengan tiga cara. Pertama, membatasi ketersediaan minuman manis terutama di sekitar sekolah. Kedua, memastikan ketersediaan minuman yang lebih sehat di sekolah, rumah sakit, supermarket dan restoran. Ketiga mengatur pemasaran minuman manis.
Rekomendasi kebijakan kedua ialah menerapkan kebijakan fiskal untuk mendorong perubahan perilaku dalam mengonsumsi produk yang lebih sehat. Penerapan pajak minuman pemanis misalnya, merupakan salah satu solusi yang direkomendasikan oleh World Health Organization (WHO), yang bertujuan menekan angka penyakit tidak menular obesitas yang semakin meningkat secara global.
Rekomendasi kebijakan ketiga ialah melaksanakan upaya promosi kesehatan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang dampak minuman berpemanis. Rekomendasi ini dapat dilakukan dengan tiga cara, pertama menerapkan intervensi perubahan perilaku untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang dampak minuman manis di sekolah. Kedua, memastikan ketersediaan label alarm yang jelas pada kemasan minuman manis. Ketiga, meningkatkan iklan layanan masyarakat di televisi tentang gaya hidup sehat dengan mengurangi kandungan gula, garam, dan lemak.
Penerapan tiga rekomendasi kebijakan ini bisa menjadi alternatif jitu untuk menurunkan tingkat konsumsi minuman manis dan tingginya kasus penyakit tidak menular. Karena jika diabaikan, kondisi ini menjadi beban pemerintah. Terlebih merujuk data BPJS Kesehatan bahwa beban penyakit tidak menular yang mencapai Rp 14,4 Triliun pada tahun 2017. (Relmbuss Biljers Fanda/Kontributor)