Imunoterapi Harapan Baru Penderita Kanker

FK-KMK UGM. Imunoterapi sangat dimungkinkan menjadi menjadi harapan awal terapi bagi penderita kanker. Pemberian spesies bakteri yang dilemahkan (HKTB) untuk membantu pengobatan kanker mampu meningkatkan kembali respon kekebalan tubuh (imun) penderita. Hal tersebut ditegaskan Laurensia Denise Utami Putri saat menjalani ujian terbuka program Doktor di Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) UGM, Kamis (12/9) di gedung Auditorium.

Batuk darah, penurunan berat badan secara drastis, seringkali menjadi rujukan tanda dan gejala penyakit TB (tuberculosis) maupun kanker paru (Lung Cancer). Kedua jenis penyakit ini pun memiliki gambaran radiologi yang sangat susah untuk dibedakan. Bahkan, hubungan sebab akibat di antara keduanya juga belum diketahui secara khusus. Alasan itulah yang memicu sosok kelahiran tahun 90-an ini memilih topik penelitian tersebut menjadi kajian disertasi di Program Doktor FK-KMK UGM.

Melalui disertasi yang berjudul: “Double Burden Disease: Tuberculosis and Lung Cancer, From Immunological Point of View”, Denis mengaji tentang mikrobakterium yang dilemahkan. Penelitian ini dilakukan untuk mengklarifikasi dampak rangsangan mikrobakteri penyebab TB yang dilemahkan tersebut pada jenis-jenis makrofag.

Denis merupakan doktor pertama yang lulus melalui program double degreeJoint Supervision Program Doktor UGM dan Taipei Medical Unversity Taiwan di bawah asuhan promotor Prof. dr. Sofia Mubarika Haryana, M.Med.Sc., PhD., dengan co-promotor Prof. dr. Marsetyawan HNE Soesatyo, MSc., PhD., dan Prof. Kang-Yun Lee, MD., PhD. Denis dalam kesempatan itu juga berhasil menyandang predikat cumlaude dengan IPK: 3,95.

Taiwan merupakan negara yang sangat konsen dengan TB. Populasi penderita TB di Taiwan sangat minimal, dan umumnya diderita oleh orang tua berusia >75 tahun. Bahkan, Denis juga menambahkan, jika di Taiwan keberhasilan terapi TB mampu mencapai angka 80%. Angka kegagalan terapi TB sebesar 20% biasanya diperoleh karena penyebab lain seperti halnya pasien TB yang menderita komplikasi ataupun gagal ginjal.

“Di Indonesia sebenarnya masih kesulitan pada tataran diagnostik penyakit TB. Oleh karenanya data antara penderita TB maupun kanker paru juga masih tumpang tindih. Mungkin Indonesia perlu menggiatkan sistem edukasi yang lebih baik lagi. Memang Indonesia sudah memiliki program yang baik seperti DOTS , hanya perlu digiatkan lagi, “ jawab Denis saat dikonfirmasi mengenai usulannya untuk penanganan TB di Indonesia. (Wiwin/IRO).