FK-KMK UGM. Center for Bioethics and Medical Humanities (CBMH) Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) Universitas Gadjah Mada (UGM) kembali mengadakan forum diskusi (Raboan). Kali ini tema yang diangkat tentang “Pendelegasian Informed Conset: Mengapa dan Bagaimana” yang disampaikan oleh dr. Meivy Isnoviana, SH., MH., dosen FK UWKS dan FK Ciputra serta merupakan Mahasiswa Magister Bioetika UGM. Acara yang dimoderatori oleh dr. Wika Hartanti, MIH berlangsung selama hampir dua jam ini disiarkan melalui live streaming kanal YouTube CBMH UGM, Rabu (28/4).
Sejarah informed consent bermula pada tahun 1851 – 1902, saat itu tentang wabah yakni yellow fever experiment oleh Walter Reed (dokter Angkatan Darat). Pada saat itu terjadi wabah yang luar biasa sehingga dibutuhkan penelitian untuk menyelesaikan masalah tersebut, namun beresiko kepada subjeknya. Sehingga subjek yang ingin bergabung dalam penelitian perlu menandatangani kesepakatan.
Pengertian informed consent melansir dari Kamus Kedokteran Dorlan menyatakan bahwa persetujuan secara sadar atau pengampu untuk berpartisipasi didaam penelitian atau tindakan medis, setelah mendapat informasi.
- Meivy Isnoviana, SH., MH., menjelaskan bahwa, “poin arti dari informed consent adalah responden yang setelah mendapatkan informasi kemudian baru menandatangani persetujuan,” jelasnya.
“Tujuan dari informed consent adalah memberikan perlindungan kepada pasien terhadap Tindakan dokter yang sebenarnya tidak diperlukan dan secra medik tidak ada dasar pembenarannya yang dilakukan tanpa sepengetahuan pasiennya. Selain itu juga memberi perlindungan hukum kepada dokter terhadap suatu kegagalan dan bersifat negative, karena prosedur medik modern bukan tanpa resiko dan pada setiap Tindakan medis melekat suatu resiko,” imbuhnya.
- Meivy menyebutkan kaidah etik dalam inform consent yang berpegang pada respect for aotonomi yaitu menghargai manusia secara moral dan bermartabat yang secara bebas dapat menentukan nasibnya sendiri, kebebasan memilih intervensi medis apakah akan dilakukan atau tidak, ke ikut sertaan pasien dalam memutuskan nasibnya sendiri adalah secara penuh tanpa paksaan, dokter dan pasien berpatner dalam membuat suatu keputusan tindakan medis yang akan dilakukan, dan diharapkan timbul kepercayaan “trust” pasien terhadap dokter.
Di samping itu, dr. Meivy juga menjelaskan tentang pendelegasian yang berarti pemberian wewenang atau tanggung jawab kepada orang lain. Dan wewenang adalah hak atau kekuasaan untuk melakukan sesuatu, membuat keputusan atau memerintah orang lain untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu untuk mencapai tujuan tertentu.
“Pendelegasian wewenang boleh dilakukan asalkan dengan tata cara ketentuan yang sesuai dengan peraturan per undang-undangan,” pungkas dr. Meivy. (Arif AR/Reporter)
Untuk menyimak diskusi selengkapnya di link: https://youtu.be/o0qDz_PLh8o