FK-KMK UGM. Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) Universitas Gadjah Mada menyelenggarakan sesi kajian ilmiah bertajuk “Understanding Mental Health Prevalence, Service Use and Economic Consequences” yang diselenggarakan pada 22 Juli 2025. Kegiatan ini bertujuan untuk menggali lebih dalam kondisi aktual gangguan kesehatan mental di Indonesia serta mengevaluasi berbagai faktor yang memengaruhi akses, diagnosis, dan dampaknya terhadap produktivitas ekonomi masyarakat.
Sesi ini menghadirkan sejumlah peneliti dari University of Manchester, yaitu Laura Anselmi, Jon Gibson, Asri Maharani, dan Sri Idaiani. Mereka mempresentasikan temuan dari beberapa studi terbaru yang dilakukan di Indonesia, khususnya yang menggabungkan analisis data Jaminan Kesehatan Nasional (BPJS), RISKESDAS, dan survei lapangan.
Dalam paparannya, Laura Anselmi menyoroti disparitas signifikan antara prevalensi gangguan mental yang dilaporkan sendiri (self-reported) dengan yang benar-benar terdiagnosis di fasilitas kesehatan. Data RISKESDAS mencatat angka depresi sebesar 6,1%, namun hanya 0,04% kasus yang tercatat dalam data BPJS. Hal ini mengindikasikan adanya kesenjangan besar dalam akses diagnosis, yang bervariasi antar provinsi dan kelompok demografis.
Jon Gibson membahas dampak ekonomi dari gangguan mental, khususnya terhadap produktivitas kerja. Studi menunjukkan bahwa depresi dan kecemasan berkontribusi pada meningkatnya ketidakhadiran (absenteeism) dan kehadiran tanpa produktivitas (presenteeism), dengan dampak yang lebih terasa di sektor informal. Hal ini menyoroti perlunya dukungan kebijakan kesehatan mental di tempat kerja yang lebih merata bagi seluruh sektor pekerjaan.
Sementara itu, Asri Maharani mengungkap bahwa hanya sebagian kecil masyarakat yang mengakses layanan kesehatan mental meski memiliki gejala. Dari survei terhadap lebih dari 19.000 responden dewasa, hanya 11% yang mencari perawatan, dan biaya pengobatan yang harus ditanggung sendiri (out-of-pocket) masih cukup tinggi. Asuransi sosial seperti JKN dinilai mampu membantu, namun belum menjangkau secara merata seluruh lapisan masyarakat.
Sri Idaiani meneliti pola distribusi diagnosis gangguan mental di berbagai tipe rumah sakit di Indonesia. Temuannya menunjukkan bahwa rumah sakit umum (RS D, C, B, dan A) lebih banyak menangani kasus gangguan mental tertentu dibandingkan rumah sakit jiwa. Hal ini mengindikasikan perlunya penguatan sistem rujukan dan pemerataan layanan psikiatri di seluruh wilayah.
Diskusi ini menggarisbawahi pentingnya penanganan gangguan kesehatan mental secara sistematis dan menyeluruh di Indonesia. Kesenjangan antara kebutuhan dan ketersediaan layanan menunjukkan perlunya perbaikan dalam aspek diagnosis, rujukan, pembiayaan, dan promosi kesehatan mental yang inklusif.
Sebagai bagian dari kontribusi terhadap pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), terutama SDG 3: Kehidupan Sehat dan Kesejahteraan, SDG 4: Pendidikan Berkualitas, maupun SDG 17: Kemitraan untuk Mencapai Tujuan. Studi ini menekankan pentingnya sistem layanan kesehatan mental yang kuat, setara, dan dapat diakses oleh seluruh kelompok masyarakat, tanpa diskriminasi ekonomi maupun geografis. (Kontributor: Shita Dewi).