FK-KMK UGM. Pusat Kedokteran Tropis (PKT), FK-KMK UGM menyoroti meningkatnya kasus keracunan massal yang terjadi di berbagai daerah, termasuk di Yogyakarta, dalam pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG). Kejadian luar biasa (KLB) keracunan ini memunculkan keprihatinan mendalam dan menjadi perhatian publik. Melalui kegiatan evaluasi yang dilakukan pada Juni 2025, PKT UGM menekankan pentingnya langkah perbaikan agar tujuan mulia dari program unggulan Presiden Prabowo tersebut dapat tercapai dengan aman dan berkelanjutan.
Direktur Pusat Kedokteran Tropis UGM, Dr. dr. Citra Indriani, MPH, menjelaskan bahwa pengelolaan makanan dalam skala besar seperti yang dilakukan oleh Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) memiliki tingkat kerentanan tinggi terhadap risiko keracunan. “Jumlah porsi dan jenis makanan yang dikelola setiap hari sangat banyak, sehingga setiap kelemahan dalam proses, mulai dari pemilihan bahan baku, cara memasak, penyimpanan, hingga distribusi, dapat berdampak besar bagi kesehatan ribuan anak sekolah,” ungkap dr. Citra.
Ia menambahkan, skala pengelolaan yang dilakukan SPPG dalam program MBG setara bahkan melebihi katering industri, sehingga penting untuk menerapkan prinsip Hazard Analysis and Critical Control Points (HACCP) atau Analisis Bahaya dan Titik Kendali Kritis sebagai standar internasional keamanan pangan. Hasil kajian investigasi UGM di Yogyakarta menunjukkan adanya kesenjangan dalam penerapan kaidah HACCP, termasuk keterbatasan pengetahuan dan minimnya keterlibatan sekolah dalam pengawasan makanan yang didistribusikan.
Tim PKT FK-KMK UGM juga menemukan bahwa durasi antara proses memasak, pengemasan, hingga konsumsi sering kali melebihi empat jam. Dalam kondisi tersebut, penyimpanan makanan harus memenuhi standar tertentu agar kualitas dan keamanan tetap terjaga. “Beberapa menu bahkan ditemukan tidak matang sempurna karena harus diproduksi dalam jumlah besar, sementara di sekolah dilakukan pengemasan ulang tanpa pemanasan,” jelas dr. Citra. Faktor-faktor ini memperbesar risiko terjadinya keracunan massal.
Sebagai tindak lanjut, PKT FK-KMK UGM mendorong perlunya standarisasi fasilitas dan kapasitas SPPG, termasuk dalam hal penyimpanan, distribusi, dan mutu bahan baku. Setiap SPPG diharapkan memiliki Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS) dan menerapkan SOP berbasis HACCP di seluruh tahapan produksi. Pelatihan bagi staf pengelola makanan juga dianggap krusial untuk memastikan setiap proses memenuhi standar keamanan pangan.
Selain itu, mekanisme pengawasan dan monitoring periodik perlu diterapkan secara konsisten untuk menjamin kualitas makanan yang disajikan. Menurut dr. Citra, pengawasan harus menjadi bagian dari tata kelola program MBG, dengan sistem yang melibatkan komunikasi, koordinasi, dan kolaborasi antarinstansi agar risiko keracunan dapat diminimalkan. “Tujuan akhirnya adalah memastikan anak-anak memperoleh manfaat dari program ini tanpa harus menghadapi ancaman bahaya kesehatan,” ujarnya.
Upaya yang dilakukan PKT FK-KMK UGM ini sejalan dengan SDG 3: Kehidupan Sehat dan Sejahtera melalui peningkatan keamanan pangan untuk mencegah penyakit, SDG 4: Pendidikan Berkualitas dengan menjamin keberlangsungan program gizi sekolah yang sehat dan aman, serta SDG 17: Kemitraan untuk Mencapai Tujuan melalui kerja sama antara akademisi, pemerintah, dan masyarakat dalam mewujudkan sistem pangan yang aman dan berkelanjutan.
PKT FK-KMK UGM menegaskan bahwa keberhasilan program Makan Bergizi Gratis tidak hanya diukur dari jumlah penerima manfaat, tetapi juga dari jaminan kualitas dan keamanan pangan yang dikonsumsi. Dengan memperkuat standar, pelatihan, dan pengawasan, diharapkan program ini dapat benar-benar menghadirkan manfaat kesehatan yang nyata bagi generasi muda Indonesia. (Kontributor: Muhammad Ali Mahrus).




