FK-KMK UGM. Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) UGM menyelenggarakan Lunch Discussion edisi Juni 2025 dengan bertajuk “Impostor Syndrome: Is It Normal To Feel This?”. Kegiatan ini diselenggarakan di ruang 1.1 Gedung KPTU FK-KMK UGM pada Rabu (11/06). Kegiatan ini dilaksanakan secara bauran dengan dihadiri oleh 38 peserta secara luring yang terdiri dari dokter, residen, tenaga kependidikan, serta mahasiswa. Tujuan dari kegiatan ini ialah, untuk memberikan edukasi berkaitan dengan impostor syndrom dan cara mengatasinya.
Kegiatan Lunch Discussion ini turut mengundang dua narasumber. Pertama, Arjan Schroder, M.D., Ph.D selaku akademisi dari Vrije Universiteit Amsterdam yang mengangkat materi “Mengenal Impostor Syndrome: Ciri-Ciri, Penyebab, dan Akibatnya, serta Bagaimana Mengatasinya”. Kedua, Dr. dr. Ronny tri Wirasto, Sp.Kj selaku doker psikiatri sekaligus dosen FK-KMK UGM yang mengangkat materi “Impostor Syndrome di Lingkungan Kerja: Bagaimana Pengaruhnya Terhadap Kinerja dan Prestasi”.
Turut memberikan sambutan mewakili Dekan FK-KMK yakni, dr. Ahmad Hamim, Ph.D selaku Wakil Dekan Bidang Akademik dan Kemahasiswaan FK-KMK UGM. dr. Hamim mengapresiasi dan mengucapkan terima kasih atas kehadiran dua narasumber yang telah bersedia berbagi ilmu di Luch Disucssion. Selain itu, dr. Hamim menekankan kegiatan ini memiliki tujuan mengenalkan kajian impostor syndrome secara menyeluruh untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
“Topik impostor Syndrome ini perlu menjadi edukasi bersama sebagai bentuk kesadaran dalam meningkatkan pola produktivitas dalam bekerja dan belajar”, kata dr. Hamim.
Kemudian, acara dilanjutkan dengan sesi pemaparan materi yang dimoderatori oleh dr. Winengku Basuki Adi, M,Med.Sc., Sp.KJ. Pada pemaparan materi pertama disampaikan oleh Arjan Schroder, M.D., Ph.D yang mengenalkan asal mula istilah impostor syndrome dan dampaknya pada produktifitas belajar. Selain itu, Arjan menegaskan kondisi kejiwaan seseorang menjadi elemen penting dalam bertindak dan menentukan produktifitas khususnya pada mahasiswa kedokteran yang terkenal dengan presure yang cukup tinggi.
“In medical education, student, teacher, and agency elements become a web of systems that perfectionistically demand results. This condition of perfectionism just becomes necessary to be a shared concern because sometimes one understands it superficially and impacts impostor syndrome”, kata Arjan.
Selanjutnya, pada pemaparan materi berikutnya Dr.dr. Ronny Tri Wirasto, Sp.Kj memaparkan materi terkait dengan gangguan produktifitas. dr. Ronny menegaskan diskusi impostor syndrome ini perlu dibedah dengan mengenalkan sisi keragu-raguan yang berdampak negatif. Selain itu, mengkaji impostor syndrome perlu mempertimbangkan sisi budaya baik dalam lingkungan kerja maupun lingkungan pendidikan yang terkadang tidak disadari.
Kegiatan Lunch Discussion ini sejalan dengan SDG 3: Kehidupan Sehat dan Sejahtera dikarenakan memberikan pengenalan dan edukasi berkaitan dengan kesehatan kejiwaan. Selain itu, kegiatan ini turut sejalan dengan SDG 4: Pendidikan Berkualitas dengan menekankan komitmen menciptakan lingkungan kerja yang sehat dengan tidak menerapkan budaya impostor syndrome sebagai alternatif pengambilan keputusan, pun dengan SDG 17: Kemitraan untuk Mencapai Tujuan. (Reporter/Tedy).