FK-KMK UGM. Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) UGM bekerja sama dengan Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM menyelenggarakan Webinar Seri Sejarah Kebijakan Kesehatan bertema “Perkembangan Transformasi Kebijakan Kesehatan di Indonesia, Dari Reformasi Hingga Pasca COVID-19, 1999–2023”. Kegiatan yang digelar secara daring pada Senin (22/9/2025) ini menjadi bagian dari rangkaian diskusi yang berlangsung sejak April hingga Juni, dengan fokus bahasan kali ini mengenai pembiayaan kesehatan di Indonesia.
Webinar menghadirkan sejumlah narasumber akademisi lintas disiplin untuk menelusuri bagaimana kebijakan pembiayaan kesehatan di Indonesia berkembang dari masa reformasi hingga periode pasca-pandemi COVID-19. Acara dibuka oleh Baha’Uddin, S.S., M.Hum., yang menekankan pentingnya memahami kebijakan pembiayaan kesehatan dari sudut pandang sejarah. Ia menelusuri perjalanan sejak masa kolonial, ketika akses layanan kesehatan hanya terbatas pada kalangan pegawai pemerintah dan militer, hingga lahirnya berbagai tonggak kelembagaan seperti BPDPK (1968), Perum Husada Bhakti (1984), PT Askes (1992), dan akhirnya BPJS Kesehatan (2014). Menurutnya, setiap fase menunjukkan perubahan paradigma negara dalam mewujudkan sistem kesehatan yang lebih inklusif.
Dalam paparannya, M. Faozi Kurniawan, S.E., MPH menjelaskan dinamika kebijakan pembiayaan kesehatan Indonesia dari masa reformasi hingga pasca-pandemi. Pada era desentralisasi (1999–2009), muncul berbagai regulasi penting seperti UU Keuangan Negara (2003), UU Pemerintahan Daerah (2004), dan UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (2004) yang memperluas akses pembiayaan kesehatan bagi masyarakat miskin. Memasuki era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pada 2014, sistem kesehatan bertransformasi menuju cakupan semesta melalui integrasi berbagai skema pembiayaan, meski masih menghadapi tantangan defisit keuangan dan ketimpangan layanan antarwilayah.
Pandemi COVID-19 menjadi babak baru dalam sejarah kebijakan pembiayaan kesehatan Indonesia. Seperti disampaikan oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D., pandemi menghadirkan kondisi unik di mana seluruh biaya perawatan COVID-19 tidak ditanggung oleh BPJS, melainkan dari alokasi khusus dalam APBN dan pinjaman luar negeri melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Fenomena ini menunjukkan bagaimana koordinasi lintas-sektor bekerja dalam kondisi krisis. Menariknya, pada masa pandemi BPJS justru mengalami surplus karena menurunnya pemanfaatan layanan, sebelum kembali menghadapi defisit pasca-pandemi.
Prof. Laksono menekankan bahwa sejarah kebijakan pembiayaan kesehatan Indonesia masih merupakan “recent history” — proses yang sedang berlangsung dan belum final. Ia mengingatkan perlunya refleksi terhadap berbagai isu penting, termasuk keberlanjutan belanja publik untuk kesehatan, kemampuan fiskal negara membiayai masyarakat miskin, serta peran swasta dan inovasi teknologi kesehatan seperti Health Technology Assessment (HTA) untuk efisiensi pembiayaan di masa depan.
Rangkaian diskusi ini menjadi bagian penting dalam mendukung Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs), khususnya SDG 3: Kehidupan Sehat dan Sejahtera melalui penguatan sistem pembiayaan kesehatan yang inklusif, SDG 8: Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi melalui efisiensi pengelolaan anggaran kesehatan nasional, serta SDG 17: Kemitraan untuk Mencapai Tujuan dengan kolaborasi antara pemerintah, akademisi, dan masyarakat sipil dalam mewujudkan sistem kesehatan yang adil dan berkelanjutan. (Kontributor: Galen Sousan A).




