FK-KMK UGM. Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) Universitas Gadjah Mada menyelenggarakan sesi diskusi bertema Public-Private Partnership (PPP) dalam Sektor Kesehatan yang dilaksanakan pada awal Juli 2025 sebagai bagian dari forum internasional. Kegiatan ini menghadirkan pembicara dari berbagai negara, termasuk Menteri Kesehatan Filipina, Wakil Menteri Uzbekistan, serta perwakilan dari sektor swasta, untuk membahas peluang dan tantangan penerapan PPP dalam pembangunan dan penyediaan layanan kesehatan.
Diskusi ini diawali dengan refleksi historis dari Inggris pada 1990-an yang mengadopsi Public Finance Initiative (PFI) untuk membangun infrastruktur rumah sakit dengan skema pendanaan dan pengelolaan oleh sektor swasta, sementara layanan klinis tetap disediakan oleh pemerintah. Model ini kemudian diadopsi oleh sejumlah negara, meskipun tingkat keberhasilan implementasinya sangat bervariasi—di Asia Pasifik hanya 1% proyek kesehatan dijalankan dengan PPP, jauh lebih rendah dibandingkan Amerika (20%) dan Eropa (18%).
Menteri Kesehatan Filipina memaparkan bahwa meskipun infrastruktur publik seperti air dan transportasi berhasil dibangun melalui skema PPP, namun saat diterapkan di sektor kesehatan kerap disalahartikan sebagai bentuk privatisasi. Ia mengungkap bahwa proyek PPP berpotensi berhasil jika diterapkan pada unit kecil atau fasilitas lokal, seperti pusat robotik atau rumah sakit daerah, yang hanya memerlukan persetujuan Kementerian Kesehatan. Tantangan utama muncul dari proses panjang, ketidakstabilan politik, dan kurangnya edukasi publik mengenai konsep PPP.
Diskusi juga membantah persepsi bahwa PPP adalah “jalan pintas” pemerintah untuk menghindari pengeluaran besar. Pemerintah perlu memiliki motivasi dan tujuan yang jelas, serta transparan dalam menjelaskan masalah yang ingin diselesaikan. Di Inggris, PPP digunakan untuk mempercepat pembangunan infrastruktur yang sebelumnya tidak efisien. Di Portugal, skema ini dipilih karena minimnya tenaga kesehatan publik.
Dari sisi investor dan sektor swasta, meskipun investasi awal dalam PPP dianggap mahal, namun jika dianalisis secara lifecycle cost, PPP memberi nilai ekonomi yang baik (value for money). Di Pakistan, kolaborasi antara rumah sakit swasta dan pemerintah dilakukan dalam semangat filantropi dan nirlaba, dengan kontrak berbasis indikator kinerja utama (KPI) yang diawasi pihak independen demi menjamin kualitas dan transparansi layanan.
Sesi ini menekankan bahwa kolaborasi antara sektor publik dan swasta memerlukan tata kelola yang kuat, komunikasi terbuka, serta edukasi publik untuk membangun kepercayaan. Langkah ini sejalan dengan Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya SDG 3: Kehidupan Sehat dan Sejahtera), SDG 16: Perdamaian, Keadilan, dan Kelembagaan yang Tangguh, serta SDG 17: Kemitraan untuk Mencapai Tujuan, yang mendorong sinergi antara sektor publik dan swasta untuk menjamin layanan kesehatan yang berkelanjutan dan berkeadilan. (Kontributor: Shita Dewi).