FK-KMK Bahas Implikasi Perpres 64/2020 Tentang Jaminan Kesehatan

FK-KMK UGM. Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) UGM menggelar seminar “Implikasi Perpres 64/2020: Apakah kelas standar dapat menjadi solusi untuk JKN yang berkelanjutan dan adil?”, Kamis (18/6) via daring.

Disunting dari rilis resminya, Ketua Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (FK-KMK) UGM, Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc., PhD., beserta tim peneliti M. Faozi Kurniawan dan Tri Aktariyan, mengungkapkan bahwa hasil evaluasi JKN periode 2 memperkuat evaluasi sebelumnya yang menggambarkan bahwa ketersediaan dan pertumbuhan rumah sakit didominasi oleh Pulau Jawa dan Sumatera. Sementara itu pelayanan kesehatan dengan teknologi mahal masih belum merata. Contohnya adalah ketersediaan dokter spesialis Jantung dan layanan cath lab. Hasil analisis data sampel BPJS Kesehatan tahun 2015-2016, segmen PBPU, PPU dan BP paling banyak memanfaatkan layanan kesehatan.

Data klaim  menunjukkan semua kelas PBPU (kelas 1, 2, dan 3) mempunyai Rasio klaim di atas 100%. Portabilitas antar daerah banyak dimanfaatkan oleh segmen PBPU yang mampu membayar biaya transportasi dan akomodasi pasien dan keluarganya. Bukti-buki terbaru menunjukkan ada masalah  inequity yang membahayakan penerapan ideologi keadilan sosial. Dana PBI APBN yang seharusnya untuk masyarakat miskin dan tidak mampu semakin terpakai untuk mereka yang seharusnya lebih mampu (PBPU).  Daerah-daerah terpencil kesulitan mengejar ketinggalan fasilitas kesehatan serta SDM  dan dana yang tidak terpakai di daerah terpencil  mempunyai risiko terpakai untuk menutup kekurangan dana BPJS di kota-kota besar dan sekitarnya. Situasi ini merupakan fenomena “gotong royong terbalik” dan  membahayakan keberlangsungan JKN.

Peraturan Presiden (Perpres) 64/2020 berarti ada dana sebesar 51,8 triliun dikucurkan dari APBN. Simulasi tahun 2020 dari estimasi, mengambarkan terjadi kenaikan iuran sebesar Rp 67,8 triliun dari berbagai segment namun masih terjadi defisit. Sebagai catatan: proyeksi ini belum memperhitungkan dampak Covid19 yang menyebabkan penurunan pasien non Covid-19 di RS-RS. Segmen  PBPU dan BP  diproyeksikan masih menjadi penyumbang defisit terbesar. Simulasi ini menyebutkan  bahwa kenaikan iuran belum tentu dapat menyelesaikan permasalahan defisit, apabila kolektibilitas iuran di PBPU belum diperbaiki dan pembatasan layanan di kelompok PBPU dan BP belum dijalankan. Faktor-faktor  penyebab defisit lainnya  adalah: 1) Pemenuhan pemerataan fasilitas dan SDM kesehatan tidak terjadi; 2) Kebijakan naik kelas masih berjalan; 3) masih ada penggolongan kelas standar PBI dengan kelas standar Non-PBI, 4) efisiensi pelayanan klinis belum dilakukan; dan 5) manfaat medik yang sangat lebar tanpa cost-sharing.

Pembatalan iuran BPJS Kesehatan melalui Mahkamah Agung (MA) berlaku dari April – Juni 2020. Pemerintah kemudian menaikkan iuran BPJS Kesehatan pada bulan Mei 2020. Kenaikan iuran ini ditujukan untuk mengatasi defisit di BPJS Kesehatan. Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) dan Pemerintah mempunyai rencana untuk menetapkan kelas standar sebagai implementasi UU SJSN dan sebagai salah satu upaya  menyelesaikan masalah defisit.

Tim peneliti FK-KMK UGM menegaskan bahwa kenaikan iuran dan penerapan kelas standar diproyeksikan belum mampu menyelesaikan masalah defisit dan mewujudkan program JKN yang berkeadilan jika tidak menyelesaikan pemerataan fasilitas kesehatan, pembatasan manfaat medik, penyesuaian besaran iuran, tunggakan iuran, cost-sharing untuk penyakit biaya mahal, & perbaikan sistem deteksi fraud dan pelibatan pemda dalam JKN.

“Oleh karenanya, sudah saatnya pemerintah dan DJSN perlu mereview UU SJSN dan UU BPJS untuk mengatasi permasalahan defisit BPJS dan  berbagai hambatan pelaksanaan JKN agar berkeadilan sosial. Diperlukan banyak kebijakan strategis, antara lain ketegasan dalam  level UU bahwa dana PBI tidak boleh diperuntukkan untuk mendanai segmen Non PBI (mencegah gotong royong terbalik) dan pelibatan Pemda disemua aspek, termasuk pendanaan defisit, agar terjadi perbaikan tata kelola dan manajemen. Dengan demikian keberlanjutan kebijakan JKN dapat terjadi,” ungkap tim peneliti FK-KMK UGM dalam rilis resminya. (Wiwin/IRO; Foto: dok. Panitia)

Berita Terbaru