FK-KMK UGM. Pekerjaan sebagai babysitter sering diasosiasikan dengan perempuan. Perempuan dianggap sebagai perawat anak yang baik. Hal ini disampaikan berdasarkan penelitian Gita Nasution, Ph.D (Australian National University) yang disampaikan dalam Forum Diskusi Raboan Center for Bioethics and Medical Humanities FK-KMK UGM pada Rabu (22/2) dengan judul “Gendered Care and Ethics in Social Research“.
Menurut penelitian Gita, para orang tua mengharapkan babysitter yang sayang anak-anak. Mereka (orang tua) tidak mementingkan pelatihan atau skill yang dimiliki oleh babysitter. Sedangkan dari sisi babysitter, mereka mengharapkan pemberi kerja yang dermawan. “Hal ini karena para babysitter memiliki harapan bisa memperbaiki kualitas hidup keluarganya,” jelas Gita. Penelitian ini sejalan dengan pilar Tujuan Pembangunan Berkelanjutan/Sustainable Development Goals (SDGs) ke-3 yaitu Kehidupan Sehat dan Sejahtera.
Dalam praktek sehari-hari ketika babysitter bekerja, mereka mengalami banyak diskriminasi. Salah satu contoh nyata yang diberikan Gita adalah pemisahan toilet babysitter dan orang tua di sekolah seorang anak. “Bahkan ada kasus yang pernah viral di media sosial di mana sebuah restoran membuat menu khusus babysitter,” tambah Gita.
Gita menuturkan bahwa secara sadar atau tidak, kita banyak menemukan kenyataan bahwa ada jarak antara pekerja dan pemberi kerja di ranah publik. Ini terlihat jelas dengan adanya seragam yang digunakan oleh babysitter. Seragam menunjukkan babysitter berseragam bukan bagian dari keluarga tersebut meski berjalan beriringan.
Berdasarkan pengalaman Gita, pengumpulan data terkait penelitiannya lebih banyak didapatkan dari percakapan sehari-hari. “Citra babysitter salah satunya dibentuk oleh masyarakat. Seragam masih menjadi identitas yang paling mudah dikenali karena seragam ini dipakai oleh banyak babysitter yang saya temui selama penelitian,” jelas Gita. (Nirwana/Reporter. Editor: Widarti)