Evaluasi Ekonomi Intervensi Penyakit Menular: Pelajaran Penting bagi Pembiayaan Kesehatan Berkeadilan

FK-KMK UGM. FK-KMK UGM melalui tim penelitinya mengikuti sesi bertajuk “Economic Evaluation of Communicable Disease Interventions” yang diselenggarakan pada Selasa, 22 Juli 2025 pukul 08.30–10.00 WITA di ruang Denpasar A (2), Bali International Convention Centre, sebagai bagian dari rangkaian forum internasional tentang evaluasi kebijakan dan pembiayaan kesehatan. Sesi ini dimoderatori oleh Naomi van der Linden dan menghadirkan beragam studi dari berbagai negara yang membahas efektivitas biaya intervensi penyakit menular seperti HIV, Hepatitis B, malaria, sifilis, hingga influenza.

Salah satu studi menarik dipaparkan oleh Kasim Allel dari University of Oxford yang menyoroti pentingnya cakupan asuransi kesehatan bagi perempuan dan remaja putri yang terlibat dalam transactional sex di Kamerun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa cakupan asuransi penuh mampu menurunkan infeksi HIV dengan nilai ICER £1.952 per DALY yang dihindari.

Dari Ethiopia, Abdi Gari mempresentasikan efektivitas pemberian profilaksis Tenofovir (TDF) pada ibu hamil positif Hepatitis B. Strategi memberikan TDF kepada seluruh ibu dengan HBsAg positif terbukti paling cost-effective dengan ICER $220,3 per DALY yang dihindari, mendorong pentingnya kebijakan skrining dan intervensi yang luas.

Sementara itu, Firdaus Hafidz dari Liverpool School of Tropical Medicine sekaligus Universitas Gadjah Mada memaparkan temuan di Papua, Indonesia. Ia mengkaji strategi Intermittent Preventive Treatment dengan Dihydroartemisinin-Piperaquine (IPTp-DP) yang sangat hemat biaya, dengan ICER $340,29 per DALY yang dihindari. Meski begitu, studi ini menekankan pentingnya skema pembiayaan jangka panjang yang kuat agar program dapat diimplementasikan secara berkelanjutan.

Michelle Tew dari University of Melbourne menambahkan perspektif lingkungan dengan mengevaluasi dampak karbon dari FDG-PET/CT untuk pasien hematologi dengan demam neutropenia. Meski perbedaan biaya lingkungan kecil, studi ini menyarankan agar aspek carbon footprint dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan klinis.

Studi lain datang dari Jason J. Ong (Monash University) mengenai algoritma diagnosa sifilis menggunakan rapid diagnostic tests (RDT). T-RDT dinilai paling efisien, namun pada populasi dengan prevalensi tinggi (>1%), pendekatan dual T/NT-RDT lebih optimal dalam mengurangi kasus yang tidak terdeteksi.

Dari University of Auckland, Hui Yee Yeo menyampaikan tinjauan sistematis mengenai efektivitas biaya intervensi non-farmasi (NPIs) untuk influenza dan COVID-19. Mayoritas NPIs terbukti cost-effective terutama saat dikombinasikan dengan vaksin atau antivirus, meskipun ada tantangan dalam konsistensi metodologi penelitian ekonomi.

Diskusi panel menyentuh isu-isu krusial seperti pemilihan cost-effectiveness threshold di negara berkembang, keterbatasan cakupan asuransi, sensitivitas harga obat, hingga risiko bias dari pembiayaan studi oleh industri. Contoh nyata seperti tantangan implementasi intervensi malaria di Papua menunjukkan perlunya pendekatan kontekstual dan sistem pembiayaan yang inklusif.

Bagi Indonesia, sesi ini memberikan pembelajaran penting akan perlunya integrasi evaluasi ekonomi yang kuat dengan pendekatan pembiayaan yang adil, memperhatikan keterjangkauan harga obat, serta dampak lingkungan dari layanan kesehatan. Hal ini sejalan dengan komitmen dalam mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB/SDGs), terutama SDG 3: Kehidupan Sehat dan Sejahtera, SDG 10: Berkurangnya Kesenjangan, dan SDG 13: Penanganan Perubahan Iklim, dan SDG 17: Kemitraan untuk Mencapai Tujuan .(Hafidz Firdaus).