dr. Taufiq Nugroho, Sp.B: Pejuang Medis di Gaza yang Berdakwah untuk Umat

“Mestinya profesi dokter itu seperti ketika di tengah-tengah konflik; sama sekali tidak memikirkan kalau menolong pasien akan mendapat apa. Kalau saya laksanakan kewajiban saya, pasti Allah akan berikan hak saya,” kata dr. Taufiq Nugroho, Sp.B, FINACS, FICS, saat ditemui di Rumah Sakit Islam Yogyakarta PDHI, Sleman, 11 Februari 2025. Sudah lebih dari satu bulan sejak ia pulang dari Gaza, Palestina, sebagai dokter bedah relawan. Mengenakan kemeja batik berwarna hijau-krem dan sandal hitam sederhana, dr. Taufiq menceritakan perjuangannya sebagai dokter bedah relawan di Gaza selama dua bulan, pada November hingga Desember 2024.

Kiprah di Dunia Kerelawanan

Kiprah dr. Taufiq sebagai dokter bedah relawan di Gaza tak lepas dari keterikatannya secara pribadi dengan Palestina sejak masih menjadi mahasiswa Kedokteran Umum, Fakultas Kedokteran (FK), Universitas Gadjah Mada (UGM) tahun 1985. Sejak duduk di bangku perkuliahan, dokter kelahiran 13 Februari 1960 tersebut memiliki kepedulian penuh terhadap nasib bangsa Palestina dengan mengikuti berbagai perkembangan yang terjadi di Palestina hingga sekarang.

Selama menjadi mahasiswa Kedokteran Umum, lulus sebagai dokter spesialis bedah dari FK UGM tahun 1997, dan kini telah menjadi dokter spesialis bedah selama 27 tahun, dr. Taufiq mengimplementasikan kepeduliannya di dunia kemanusiaan sebagai relawan bencana dan tergabung dalam Medical Emergency Rescue Committee (MER-C) Indonesia, organisasi sosial kemanusiaan yang bergerak dalam bidang kegawatdaruratan medis. Bahkan, kini, dr. Taufiq menjadi Ketua Relawan MER-C Cabang Yogyakarta. Ia turun langsung sebagai relawan di berbagai bencana, seperti Gempa Yogyakarta (2006), Gempa Padang (2009), Gempa Tsunami Palu (2018), Erupsi Semeru (2021), hingga Gempa Cianjur (2022). “Saya hampir selalu dengan siapapun berangkat (ke lokasi bencana). Kadang dengan MER-C, kadang dengan anak-anak lain. Saya tidak peduli dengan bendera yang harus saya kibarkan, jaket yang harus saya pakai. Saat itulah saya menjadi dokter yang sesungguhnya,” kata dr. Taufiq.

Menjadi Dokter Bedah Relawan di Gaza

Kiprah dr. Taufiq dalam dunia kerelawanan serta perhatian khusus pada perkembangan Palestina membawanya menuju aksi nyata terbesar dalam hidupnya. MER-C yang menjadi satu-satunya mitra World Health Organization (WHO) yang mendapatkan izin untuk mengirimkan tim relawan ke Gaza, memberangkatkan kembali Emergency Medical Team (EMT) ke sana. Sebelumnya, MER-C telah memberangkatkan lima gelombang EMT ke Gaza. Namun, dr. Taufiq baru ‘berjodoh’ dengan kesempatan tersebut pada pemberangkatan EMT keenam, Oktober 2024 lalu.

“Selain ada keterikatan dengan riwayat perjuangan Palestina, saya memang ingin ke sana, panggilan kerelawanan. Alhamdulillah, istri saya mengizinkan, anak-anak juga, kemudian saya berangkat ke sana,” ujar dr. Taufiq.

Dalam proses menjadi relawan medis di Gaza, dr. Taufiq menjalani wawancara dengan MER-C terkait izin keluarga dan persiapan kebutuhan administrasi untuk diajukan ke WHO. Namun, pengajuan tersebut harus mendapatkan izin oleh Israel. Beruntung, pada 29 Oktober 2024, dr. Taufiq bersama empat relawan medis Indonesia lainnya mendapatkan izin untuk berangkat ke Gaza.

Perjalanan dr. Taufiq dan relawan lainnya untuk sampai di Gaza tidak mudah. Terbang dari Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta, dr. Taufiq dan tim mendarat di Yordania. Satu malam menginap di Yordania, paginya, dr. Taufiq dan tim melanjutkan perjalanan dengan menaiki bus menuju perbatasan wilayah Israel untuk memasuki Gaza. “Di perbatasan itu, kami dijemput oleh United Nation (UN) dengan rombongan konvoi antipeluru menuju Gaza. Ada 10 mobil dengan masing-masing empat penumpang. Setiap orang diperiksa satu per satu melalui scanning mata lewat drone,” jelas dr. Taufiq.

Sore tiba di Gaza City (Gaza Tengah), pemandangan yang pertama kali disaksikan oleh dr. Taufiq adalah kehancuran kota secara fisik yang nyaris komplet. Hampir tidak ada bangunan yang masih utuh, termasuk rumah ibadah, rumah sakit, dan sekolah. “Saya tidak percaya bahwa selama satu tahun, masih ada orang yang bertahan di situ. Menurut saya, itu tidak masuk akal. Tidak ada rumah. Mereka tinggal di reruntuhan ruangan tanpa pintu, tanpa jendela, melewati dua musim dingin. Pasokan makanan tidak ada, obat-obatan tidak ada, kebutuhan tidak ada. Kalau untuk ukuran manusia biasa, tanpa campur tangan Allah, rasanya tidak mungkin mereka bertahan. Tapi nyatanya, mereka bertahan,” terang dr. Taufiq.

  1. Taufiq dan tim segera turun membantu para pasien di Public Aid Hospital dan Rumah Sakit Al-Shifa. dr. Taufiq menceritakan, kondisi Rumah Sakit Al-Shifa pada saat itu sudah hancur, tetapi mulai difungsikan kembali sebagai rumah sakit. Sembari menjadi dokter bedah relawan di kedua rumah sakit tersebut, dr. Taufiq dan tim masih menunggu persetujuan dari pihak Israel untuk masuk ke Gaza Utara. Pasalnya, Gaza Utara termasuk sebagai zona ‘merah-kehitaman’. Selama 1,5 bulan di Gaza Tengah dan setelah enam kali pengajuan ditolak, akhirnya dr. Taufiq dan tim diizinkan oleh Israel untuk memasuki Gaza Utara.

Setelah 1,5 bulan berada di Gaza Tengah, dr. Taufiq dan tim berangkat ke Gaza Utara. Lebih parah dari kondisi Gaza Tengah, pemandangan yang disaksikan di Gaza Utara adalah rata dengan tanah. “Perjalanannya lumayan mengerikan karena semua yang kita bawa, bahkan baju, tidak diizinkan masuk ke Gaza Utara. Semuanya harus ditinggal. Jadi, kita masuk ke Gaza Utara hanya dengan baju yang ada di badan,” ungkap dr. Taufiq.

Pelajaran Hidup Tak Ternilai di Gaza

Berada di Gaza Utara merupakan momen yang tak terlupakan bagi dr. Taufiq. Saat tiba di Rumah Sakit Kamal Adwan, dr. Taufiq dan tim disambut dengan hangat oleh Direktur Rumah Sakit Kamal Adwan, Dr. Hussam Abu Safiya, beserta jajaran rumah sakit. “’Saya sudah menunggu kalian satu bulan, selamat datang’,” kata dr. Taufiq, menirukan Dr. Hussam yang menyambutnya dengan kaki yang mengenakan tongkat dan masih terpincang akibat ledakan bom. Warga Gaza Utara juga berduyun-duyun menyambut kehadiran tim dr. Taufiq. Hanya haru yang bisa ia rasakan saat itu.

“Kami masuk ke rumah sakit dan disediakan tempat untuk beristirahat. Malam itu, kami langsung mulai bekerja,” ucap dr. Taufiq.

Dengan mengenakan baju yang sama selama lima hari, dokter yang juga berpraktik di Rumah Sakit Umum (RSU) Islam Klaten itu menangani banyak warga yang menjadi korban ledakan. Berbeda di Gaza Tengah yang mana suara ledakan bom terdengar dari kejauhan, di Gaza Utara, ledakan bom telah menjadi ancaman warga di setiap detik, karena menyasar area rumah sakit. Bahkan, dua gadis kecil yang selalu setia menanti dr. Taufiq dan tim keluar dari ruang operasi untuk meminta balon, turut menjadi korban ledakan. Satu dari mereka tewas, dan satu anak lainnya masih dapat diselamatkan, meskipun dengan kondisi tubuh yang sudah hancur. dr. Taufiq lah yang kemudian memimpin jalannya operasi anak tersebut.

“Itu operasi tanpa kata,” kenang dr. Taufiq. “Kami benar-benar tidak bisa berkata apa-apa lagi. Bahkan saat ada media Al-Jazeera meminta wawancara, kami menolaknya dan fokus untuk operasi. Apalagi di tengah-tengah operasi, tiba-tiba perawat Gaza yang membantu kami operasi melantunkan syair yang meskipun saya tidak tahu artinya, tetapi mendengarkannya saja saya merinding. Itu operasi yang tidak akan pernah saya lupakan,” lanjutnya.

Menjadi dokter relawan di Gaza Utara juga menjadi perjalanan spiritual bagi dr. Taufiq. Ia mengungkapkan, setiap selesai ledakan bom, para warga histeris ketika mengetahui ada anggota keluarganya yang menjadi korban. Namun, setelah itu, mereka dengan bahagia menceritakan bahwa anggota keluarganya telah syahid (orang yang mati karena membela agama, red).

“Mereka akan tersenyum dan mengatakan, ‘Alhamdulillah, Khair, Insha Allah’. Alhamdulillah, pasti ini sesuai yang baik, Insha Allah’. Itu pelajaran yang mudah-mudahan saya tidak akan pernah melupakan. Dan menurut saya, ini yang juga membuat mereka bisa bertahan sampai satu tahun dalam kondisi seperti itu, karena mereka tidak protes kepada Allah,” terang dr. Taufiq.

Tak hanya itu, pengalaman tak terlupakan lainnya yang dialami dr. Taufiq adalah ketika melakukan operasi dengan fasilitas seadanya, karena sebagian besar sudah rusak terkena ledakan bom. Bahkan, mengoperasi pasien dengan bermodalkan penerangan dari ponsel adalah hal yang biasa ia alami di sana. “Waktu itu, saya sedang mengebor karena patah tulang paha. Di tengah-tengah operasi, lampunya mati. Iya sudah, pakai lampu HP. Di sana, lampu mati mungkin hidupnya baru besok. Jadi, apapun operasi harus diselesaikan, meskipun seperti tanpa menggunakan bantuan oksigen,” tutur dr. Taufiq.

Dokter yang Berdakwah dan Gerombolan Orang Baik

Kiprahnya di dunia kemanusiaan tak hanya menjadi relawan. dr. Taufiq juga mendedikasikan hidupnya sebagai pendakwah dan pembimbing haji sejak 1997. Kemampuan berdakwah telah dr. Taufiq dapatkan sejak duduk di bangku SMP. “Sejak SMP, saya suka membaca. Saat SMA, saya sudah mulai diminta untuk mengisi pengajian, kultum. Saat menjadi mahasiswa, saya juga aktif berorganisasi di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) di bidang dakwah,” terang dr. Taufiq.

Dokter empat anak itu mengakui menikmati menjadi seorang dokter yang bisa berdakwah. dr. Taufiq mengatakan, dia dapat menyampaikan masalah medis tanpa harus terpisah dari masalah agama, seperti mengajarkan pasien cara bertayamum dan salat saat menjalani rawat inap. “Menurut saya, hubungan pasien dan dokter itu ada keterikatan, ketergantungan bahwa setengah hidup pasien diserahkan kepada dokter, sehingga dokter memberikan instruksi apapun akan dilakukan,” jelasnya.

Dalam perannya sebagai pendakwah, dr. Taufiq sering mengisi berbagai kajian di kawasan UGM dan RSUP Dr. Sardjito, terutama saat Ramadan. Namun, dalam kesehariannya, dr. Taufiq juga mengadakan kajian rutin dua pekan sekali dengan Gerombolan Orang Baik, kelompok jemaah yang terdiri atas para pedagang. Bahasan kajian yang disampaikan antara lain mengkaji Al-Qur’an dan topik lainnya yang sesuai dengan permintaan jemaah. Sejak 2003, Gerombolan Orang Baik telah menghasilkan berbagai kegiatan yang bermanfaat untuk masyarakat di berbagai daerah di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), seperti membangun sumur, pembinaan mualaf, hingga membagikan daging kurban ke daerah yang membutuhkan.

“Saya tertarik berdakwah karena janji yang disampaikan oleh Nabi Muhammad kepada seorang Sahabat Nabi bernama Muadz bin Jabal. Satu orang saja yang mengikuti apa yang kita dakwahkan, maka imbalannya adalah surga. Menurut saya, saya sudah melakukan kebaikan dengan menjauhi maksiat, tapi belum tentu saya masuk surga. Lalu, kenapa saya tidak ambil peluang itu? Padahal, seringkali perbuatan baik kita pun ternyata celahnya banyak. Makanya, peluang mendapat pahala dari apa yang kita lakukan kepada orang lain itu satu harapan,” tutur dr. Taufiq.

Pesan untuk Para Calon Dokter

Saat ditanya mengenai apa yang ingin ia lakukan lagi ke depannya, dr. Taufiq menjawab sederhana: menjadi dokter yang baik. dr. Taufiq menjelaskan, dokter yang baik adalah dokter yang melaksanakan Sumpah Dokter; dokter yang hanya berpikir apa yang bisa dilakukan untuk membantu dan menolong pasien, bukan berpikir apa yang bisa didapatkan dari pasien.

“Menolong orang tidak harus selalu menerima uang. Menolong orang adalah karena dia perlu kita tolong dan kita bisa menolong. Saya selalu yakinkan, laksanakan kewajiban, Allah pasti berikan hak dari manapun datangnya,” kata dr. Taufiq.

Di pengujung kisahnya, dokter berusia 65 tahun itu memberikan satu pesan singkat untuk para mahasiswa yang sedang menempuh pendidikan Kedokteran. “Baca, pahami, renungkan Sumpah Dokter, karena banyak dokter yang lupa Sumpah Dokternya,” kata dr. Taufiq. (Penulis: Citra Agusta Putri Anastasia. Editor: Sri Awalia Febriana)