FK-KMK UGM. Doktor Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) UGM, dr. Merita Arini, MMR mengkaji pengembangan model kolaborasi pengelolaan Tuberculosis-Diabetes Melitus (TB-DM). Paparan hasil kajiannya telah berhasil dipertahankan dalam sidang ujian terbuka program Doktor Ilmu Kedokteran dan Kesehatan FK-KMK UGM, secara daring, Senin (10/5) lalu.
Menurut data International Diabetes Federation tahun 2019, Indonesia berada pada peringkat 7 jumlah penderita Diabetes Melitus (DM) dunia. DM menjadi salah satu atribut faktor Tuberculosis yang menyebabkan kasus penyakit penyerta TB-DM dengan angka 0,35 juta dari sekitar 10 juta penderita TB dunia.
“Pasien penyakit kronis maupun dengan penyakit penyerta memiliki risiko mengalami hambatan dalam mendapatkan pelayanan kesehatan yang berkualitas dan aman. Oleh karenanya, diperlukan adanya upaya untuk mengintegrasikan pengelolaan TB yang sifatnya berbasis layanan komunitas dengan pengelolaan DM yang semula berbasis layanan kesehatan individual”, ungkap dr. Merita dalam paparannya.
Dokter Merita menambahkan, meskipun secara global telah dicanangkan kerangka pengendalian dan pelayanan TB-DM, dan telah ada kebijakan implementasi kolaborasi TB-DM di Indonesia, namun praktik kolaborasi TB-DM belum terimplementasi secara rutin dan sistematis.
“Pedoman yang ada belum cukup menjelaskan pelayanan yang diperlukan secara spesifik. Selain itu, belum terbentuk mekanisme kolaborasi TB-DM di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) maupun Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL)”, imbuhnya. Dokter Merita juga menegaskan bahwa pelayanan berkualitas untuk mengelola penyakit kronis membutuhkan integrasi berbagai elemen multisektoral.
Penelitian di bawah bimbingan promotor Prof. dr. Adi Utarini, MSc., MPH., PhD., ini secara umum bertujuan untuk mengembangkan model kolaborasi TB-DM yang bisa diimplementasikan di fasilitas kesehatan primer (Puskesmas).
Berdasarkan hasil assessment, Merita dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa pengelolaan TB-DM di Kota Yogyakarta belum kolaboratif meskipun terdapat peningkatan beban kasus. Meskipun demikian, kolaborasi TB-DM mulai dikenalkan dalam bentuk sosialisasi dan ditopang dengan kebijakan-kebijakan. Sedangkan dari aspek kesiapan struktur dan proses, Puskesmas memiliki jenis sumber daya yang memadai namun membutuhkan kolaborasi multisektor.
“Model kolaborasi TB-DM secara teknis meliputi upaya skrining dua arah, edukasi, penatalaksanaan TB-DM terintegrasi serta pencatatan dan pelaporan. Perumusan model melibatkan perspektif dan pengalaman pasien, petugas kesehatan, pemangku kepentingan, serta pakar untuk memastikan terpenuhinya komonen-komponen pelayanan penyakit kronis terintegrasi yang berkualitas, aman, dan bisa diterapkan”, papar dr. Merita yang berhasil meraih gelar Doktor UGM ke-5.188 ini. Dalam kesempatan ini pula, dr. Merita berhasil meraih kelulusan dengan predikat sangat memuaskan, dengan Indeks Prestasi Kumulatif 3,90. (Wiwin/IRO)