FK-KMK UGM. Kanker payudara masih memiliki prevalensi tertinggi di Indonesia sebesar 0,5‰. Data Riskesdas 2018 menunjukkan estimasi jumlah penderita kanker payudara terbanyak terdapat di Jawa Timur dan Jawa Tengah.
“Tingkat keberhasilan pengobatan kanker hingga saat ini masih rendah. Hanya sekitar 30% pasien kanker yang berhasil sembuh ketika menjalani pengobatan. Di antara masalah utama dalam pengobatan kanker adalah timbulnya resistensi sel kanker terhadap antikanker yang tersedia dan munculnya efek samping yang serius akibat target aksi antikanker yang tidak spesifik. Sebagian besar antikanker juga menyerang sel normal yang berdampak timbulnya efek samping tersebut. Usaha menemukan antikanker baru yang sensitif dengan target aksi yang spesifik dengan demikian sangat diperlukan untuk meningkatkan keberhasilan pengobatan kanker,” papar Rifki Febriansah, S.Farm., M.Sc., Apt., saat menjalani ujian terbuka program promosi Doktor Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FK-KMK) UGM, Rabu (11/8) yang digelar secara daring dengan promotor Prof. Dr. Mustofa, M.Kes., Apt.
Rifki juga menambahkan bahwa bahan alam hingga saat ini masih menjadi tumpuan para peneliti untuk menghasilkan antikanker baru. Di antara bahan alam tersebut, mikroorganisme terutama Aktinomisetes merupakan sumber molekul baru antikanker yang potensial. Ribuan senyawa telah berhasil diisolasi dari Aktinomisetes dan dikembangkan menjadi antibiotik, antiparasit, antivirus dan insektisida. Namun demikian terkait potensi Aktinomisetes sebagai penghasil antikanker masih perlu dikaji.
Penyebab kanker payudara sangat beragam, tetapi ada sejumlah faktor risiko yang dihubungkan dengan perkembangan penyakit ini yaitu asap rokok, konsumsi alkohol, umur pada saat menstruasi pertama, umur saat melahirkan pertama, lemak pada makanan, dan sejarah keluarga tentang ada tidaknya anggota keluarga yang menderita penyakit ini. Hormon juga memegang peranan penting dalam terjadinya kanker payudara. Estradiol dan progesteron dalam daur normal menstruasi meningkatkan resiko kanker payudara. Hal ini terjadi pada kanker payudara yang memiliki reseptor estrogen, di mana sekitar 50% kasus kanker payudara merupakan kanker yang tergantung estrogen.
“Meskipun mekanisme molekuler yang mempengaruhi risiko terjadinya kanker payudara dan progresi dari penyakit ini belum dapat diketahui secara pasti, namun aktivasi onkogen yang disebabkan oleh modifikasi genetik (mutasi, amplifikasi atau penyusunan ulang kromosomal) atau terjadinya modifikasi epigenetik (ekspresi berlebihan) dilaporkan mampu mengarahkan pada terjadinya multiplikasi dan migrasi sel. B,” imbuhnya
Penelitian yang berjudul “Isolasi Senyawa Aktif dari Streptomyces sp. GMY01 dan Uji Sitotoksik pada Sel Kanker Payudara Secara In Vitro dan In Silico” yang digiatkan Rifki ini merupakan penelitian lanjutan dari penelitian sebelumnya dalam usaha untuk menemukan senyawa antikanker payudara yang dihasilkan oleh isolat Streptomyces sp. GMY01. Pada penelitian ini telah dilakukan isolasi dan identifikasi senyawa aktif pada Streptomyces sp. GMY01 yang berpotensi sebagai senyawa antikanker yang selanjutnya dilakukan uji aktivitas dan analisis mekanisme aksi sebagai antikanker pada sel kanker payudara MCF-7 secara in vitro dan in silico.
“Diharapkan senyawa aktif yang diperoleh mempunyai aktivitas sitotoksik yang kuat dan tingkat selektivitas yang tinggi sehingga mampu mengatasi masalah yang sering ditemui dari terapi kanker menggunakan obat khemoterapi. Hal ini sangat penting dilakukan dalam upaya untuk menumbuhkan kemandirian bangsa khususnya dalam penemuan senyawa aktif untuk bahan baku obat”, papar Doktor baru FK-KMK UGM yang berhasil menyandang gelar Doktor UGM ke-5.253 dengan IPK 3,91 ini. (Wiwin/IRO)