FK-KMK UGM. Kanker masih menjadi penyebab kematian nomor dua di negara berkembang, termasuk Indonesia. Saat ini, pengembangan antikanker diarahkan pada upaya mendapatkan antikanker yang bekerja secara selektif dan spesifik yang ditujukan terhadap abnormalitas genomik dan molekuler.
Tingkat keberhasilan kemoterapi sebagai modalitas utama terapi kanker masih rendah karena timbulnya efek samping dan resistensi sel kanker akibat sifat kerja antikanker yang tidak selektif dan tidak spesifik.
Risiko efek samping dan resistensi yang muncul akibat penggunaan kemotarapi dapat diatasi salah satunya dengan penggunaan agen kemoterapi secara kombinasi yang memungkinkan pemberian dosis lebih rendah, namun dengan efikasi yang setara dengan penggunaan secara tunggal. Hal ini disebabkan karena penggunaan obat secara kombinasi pada konsentrasi tertentu menghasilkan efek yang setara atau lebih baik daripada penjumlahan efek antinkanker yang dihasilkan oleh masing-masing obat pada penggunaan secara tunggal.
Kemajuan bidang kimia medisinal dan kimia komputasi telah memungkinkan peneliti untuk merancang suatu senyawa yang diprediksikan mempunyai aktivitas biologis yang baik dan aman karena telah diuji sifat fisikomikiawinya menggunakan komputer secar avirtual (uji in silico). Saat ini metode skrining obat secara virtual telah menjadi bagian penting dalam mengidentifikasi senyawa yang paling berpotensi untuk dikembangkan sebagai calon obat.
Paparan tersebut diungkapkan dr. Isnatin Miladiyah, M.Kes., Rabu (25/7) di gedung Auditorium Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FK-KMK) UGM pada ujian terbuka program doktor. “Salah satu senyawa yang potensial untuk diteliti dan dikembangkan sebagai antikaner adalah turunan xanton,” ungkapnya.
Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa isolat senyawa xanton dari alam terbukti berefek terhadap peningkatan apoptosis dan hambatan siklus sel dengan memacu berbagai enxim caspase, peningkatan protein Bax, hambatan terhadap Bcl-2 dan NF-ĸb serta hambatan terhadap berbagai siklin.
Penghambatatan terhadap COX-2, VEGF dan telomerase dalam terapi kanker dikaitkan dengan proses metastasis kanker. Sebagian besar penderita kanker (90%) meninggal bukan karena kanker primernya melainkan karena metastasis jauhnya.
“Dengan demikian sangat rasional untuk menggali terapi antikanker yang diarahkan pada penghambatan COX-2, VEGF dan telomerase yang berperean besar dalam metastasis kanker”, imbuhnya.
Penelitian Isnatin ini jua menghasilkan data bahwa aktivitas sitotoksik terbaik dimiliki oleh senyawa xanton 6 (TTX). “Penggunaan TTX dan doxorubicin secara kombinasi memberikan hasil penghambatan sel Raji yang jauh lebih baik”, ungkap doktor lulusan ke-4.082 UGM ini.
Penelitian yang memberikan temuan penting mengenai potensi penggunaan kombinasi TTX dan doxorubicin sebagai antikanker khususnya untuk limfoma sel B dengan promotor Prof. Dr. Mustofa, M.Kes., Apt., ini mampu menghantarkan Isnatin meraih gelar doktor dengan predikat cumlaude. (Wiwin/IRO)