FK-KMK UGM. Indonesia merupakan pasar rokok terbesar kedua di dunia. Di mana dua dari tiga pria perokok dan kretek telah menguasai 95 persen pasar di Indonesia. Tidak heran, setidaknya lebih dari 250.00 orang Indonesia meninggal karena penyakit akibat tembakau.
Pada Selasa (4/6), Pusat Perilaku dan Promosi Kesehatan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (FK-KMK UGM), Health Promoting University (HPU) UGM, HPU FK-KMK UGM, Forum Jogja Sehat Tanpa Tembakau (JSTT), dan Aliansi Akademisi Komunikasi Indonesia untuk Pengendalian Tembakau (AAKIPT) menggelar webinar nasional bertajuk “Membaca Kretek Capitalism dalam Perspektif Tobacco Control” dan bedah buku berjudul “Kretek Capitalism” karya Marina Welker, antropolog dari Amerika Serikat.
Kegiatan ini diselenggarakan untuk memperingati Hari Tanpa Tembakau Sedunia (HTTS) 2024 dan sewindu putusan kasasi atas gugatan hukum kepada JSTT.
“JSTT dan jejaring kampus serta organisasi masyarakat sipil mendukung semua upaya baik pemajuan hak-hak asasi manusia terlebih pelindungan anak lewat kebijakan dan kerja-kerja pengendalian tembakau,” sambut Prof. Dra. RA. Yayi Suryo Prabandari, M.Si., Ph.D., Ketua HPU UGM sekaligus Ketua Forum JSTT.
Menurut Prof Yayi, Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia atas kasasi gugatan hukum kepada JSTT menjadi tonggak keberpihakan terhadap penegakan hak asasi manusia melalui pengendalian tembakau.
Pada sesi materi, kegiatan ini diisi oleh para praktisi dengan beragam latar belakang. Di antaranya, Dr. Lestari Nurhajati, M.Si., Sekretaris Jenderal AAKIPT; Beladenta Amalia, Ph.D., Project Lead for Tobacco Control, Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives; Gumilang Aryo Sahadewo, S.E., M.A., Ph.D., Ketua Pokja Pengendalian Tembakau, Narkoba, Alkohol, dan Perjudian, HPU UGM; Jalal, pengurus Komite Nasional Pengendalian Tembakau; Elanto Wijoyono, pegiat JSTT, dan; Tubagus Haryo Karbyanto, S.H., advokat, Solidaritas Advokat Publik untuk Pengendalian Tembakau Indonesia.
Lestari menyebut “Disinformasi soal tembakau di Indonesia sangat massif,”
Hal ini dipicu akibat kealpaan negara secara politis untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia atas kesehatan ketika berhadapan dengan bisnis rokok – sesuai penjelasan Beladenta.
Secara ekonomi, Aryo menambahkan bahwa kapitalisme rokok dan kretek menciptakan berbagai narasi untuk mempertahankan eksistensinya di tengah berbagai dampak negatif yang diakibatkannya.
“Masyarakat Indonesia perlu kritis dengan mempelajari berbagai temuan ilmiah mengenai dampak merokok terhadap kesehatan individu hingga tumbuh kembang anak,” pungkas Aryo.
Ia pun menegaskan bahwa masyarakat perlu kritis menjawab narasi mengenai penghidupan pekerja di sektor tembakau.
“Kami berharap, pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan bersegera menyandang kemauan politik yang kuat berlandaskan semangat membela hak-hak asasi manusia, melawan disinformasi dan campur tangan industri tembakau di semua sektor, jenjang, dan tahapan kebijakan publik, untuk menjunjung hak-hak asasi manusia, terlebih hak asasi manusia atas kesehatan serta perlindungan anak,” tutup Prof. Yayi.
Kegiatan ini pun menunjukkan komitmen terhadap Tujuan Pembangunan Berkelanjutan/Sustainable Development Goals (SDGs) yakni Kehidupan Sehat dan Sejahtera (SDGs 3), Pendidikan Berkualitas (SDGs 4), Kesetaraan Gender (SDGs 5) serta, Konsumsi dan Produksi yang Bertanggungjawab (SDGs 12). (Isroq Adi Subakti/Reporter)
Gambar: Sampul resmi buku “Kretek Capitalism”