FK-KMK UGM. Center for Bioethics and Medical Humanities (CBMH) Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) UGM menggelar Raboan Discussion Forum dengan tema “Dinamika Sengketa Medis di Indonesia” secara daring melalui platform Zoom. Diskusi yang berlangsung hampir dua jam ini dimoderatori oleh Dr. dr. Darwito, SH., Sp.B(K)., Onk., Rabu (23/6).
Raboan kali ini menghadirkan narasumber dari pakar hukum yaitu Prof. Dr. Edward Omar Sharif Hiariej, S.H., M. Hum., atau akrab disapa dengan Prof. Eddy ini merupakan wakil Menteri Hukum dan HAM RI Kabinet Indonesia Maju.
Prof. Eddy membawakan materi diskusi terkait “Restorative Justice dalam Sengketa Medis”. Sengketa medis adalah perselisihan antara dua pihak atau lebih atas suatu persitiwa hukum yang terajdi dalam lingkup medis termasuk tindak dokter atau perawat atau para medis terhadap pasien. “Sengketa medis, dapat terjadi dalam beberapa ranah yaitu bisa dalam konteks ranah pidana, perdata, maupun administrasi. Jika masih di ranah administrasi atau perdata lebih mudah untuk mencari solusinya dibandingkan konteks ranah pidana,” ungkapnya.
Restorative justice dipahami sebagai bentuk pendekatan penyelesaian perkara menurut hukum pidana dengan melibatkan pelaku kejahatan, korban, keluarga korban atau pelaku dan pihak lain yang terkait untuk mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pada pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan sebagai pembalasan.
Prof. Eddy menyebutkan alasan mengapa harus restorative justice dalam sengketa medis yakni, Pertama, restorative justice adalah suatu penyelesaian di luar pengadilan yang lebih mengutamakan pada pemulihan korban dan bukan penghukuman. Kedua, timbulnya sengketa dalam praktik kedokteran maupun tindakan medis sebagian besar bukanlah suatu kesengajaan, melainkan lebih pada kelalaian, bahkan dapat saja pure accident. Ketiga, sifat hukum pidana sebagai ultimatum remidium. Keempat, restorative justice adalah paradigm hukum pidana modern. Dan kelima, adanya investigasi terhadap tindakan malpraktek tidaklah dimaksudkan untuk menghukum dokter atau para medis, melainkan untuk mencegah timbulnya kasus yang sama di kemudian hari.
“Dalam konteks penyelesaian sengketa medis yang berkaitan dengan malpraktek, aparat penegak hukum tidak bisa bertindak lebih lanjut tanpa ada keputusan dari Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI),” pungkasnya. (Arif/Reporter)