FKKMK-UGM. Kementerian Kesehatan RI tahun 2015 menyebutkan bahwa di Indonesia, kanker indung telur (ovarium) masih merupakan keganasan ginekologi ketiga setelah kanker leher rahim dan kanker badan rahim (korpus uteri). Metode pemeriksaan dan diagnosis awal penderita kanker ovarium masih menjadi tantangan peneliti dan dokter spesialis Ilmu Kebidanan dan Penyakit Kandungan masa depan. Tidak adanya gejala klinis awal yang jelas dalam kasus kanker ovarium menjadikannya sulit bisa dideteksi secara dini. Akibatnya 65-75 persen kasus kanker ovarium baru bisa didiagnosis pada stadium lanjut.
Data tersebut diungkapkan Prof. Dr. dr. Heru Pradjatmo, M.Kes., SpOG(K), dalam pidato pengukuhan Guru Besar UGM, Rabu (28/3) di Balai Senat UGM. Sudah saatnya kini, dokter spesialis Ilmu Kebidanan dan Penyakit Kandungan yang mengemban amanah sebagai ujung tombak penanganan kanker ginekologi turut berupaya lebih keras untuk meningkatkan kelangsungan hidup para penderita kanker ovarium.
“Angka kematian kanker ovarium paling tinggi dan sulit untuk diturunkan. Melihat fenomena ini tentunya sebagai dokter kita harus lebih selektif dalam menangani kasus. Kasus mana yang masih bisa ditangani dengan baik di tempat pelayanannya, dan kasus mana yang seharusnya segera dirujuk ke tempat yang lebih memadai”, paparnya.
Professor Heru Pradjatmo juga menambahkan bahwa untuk bisa meningkatkan kelangsungan hidup penderita kanker ovarium dibutuhkan suatu metode pemeriksaan diagnosis awal penderita kanker yang non-invasif, spesifik dan sensitif sehingga kelangsungan hidup penderita bisa ditingkatkan. “Ini merupakan tantangan bagi para peneliti untuk bisa menemukan suatu metode pemeriksaan diagnosis awal penderita kanker ovarium,” tegasnya.
Tes protein darah (CA-125) yang merupakan penanda tumor, masih dirasakan kurang cukup sensitif untuk tes skrining kanker ovarium. “Lebih dari 85 persen perempuan dengan stadium lanjut terjadi kenaikan kadar protein darah. Akan tetapi hanya 50 persen perempuan dengan kanker ovarium stadium awal yang terdapat kenaikan. Di titik inilah teknologi baru untuk deteksi stadium awal kanker ovarium sangat diperlukan. Kemajuan lebih lanjut bidang kedokteran seperti proyek genome manusia harapannya bisa memberikan kesempatan baru untuk mengembangkan alat diagnostik dan terapi target gen yang lebih baik,” papar Prof. Heru Pradjatmo.
Pada semua penderita kanker ovarium semua stadium yang relatif memiliki kemampuan hidup selama 5 tahun hanya sekitar 53 persen. Sedangkan untuk stadium I dan II sebesar 95 persen. Untuk stadium III dan IV, kemampuan hidup 5 tahun sebanyak 31 persen. Dalam poin ini, Profesor Heru Pradjatmo menegaskan bahwa sampai saat ini di Indonesia belum mendapatkan kemampuan hidup selama 5 tahun bagi penderita.
Sedangkan jika dilihat dari hasil penelitian yang dilakukan di RSCM Jakarta, diperoleh data bahwa angka kemampuan hidup 5 tahun penderita pada semua stadium sebesar 41,25 persen. Pada stadium I sebesar 76,3 persen, stadium II sebesar 66,6 persen, stadium III sebesar 24,6 persen dan stadium IV sebesar 8,1 persen. Dari hasil analisis menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi angka kemampuan hidup tersebut adalah stadium klinik dan jenis pengobatan.
Adanya hubungan antara kemampuan hidup lima tahun dengan stadium penyakit saat didiagnosis menunjukkan bahwa dengan deteksi awal akan meningkatkan kemampuan hidup penderita. “Namun, perlu diingat bahwa diagnosis awal kanker ovarium tidak mudah. Secara fisik, letak ovarium yang sulit dijangkau yakni terletak dalam panggul di antara organ dalam (viscera), tidak dapat dilihat secara langsung, sehingga pengambilan sampel dari jaringan ovarium tidak mungkin dilakukan tanpa dilakukan dengan prosedur invasif,” papar guru besar yang juga staf Departemen Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FKKMK) UGM ini.
Kanker oravium sering disebut Silent Lady Killer yang jarang ditemukan pada stadium awal karena berkembang secara tersembunyi dan hampir tidak bergejala. Bila timbul gejala klinis umumnya merupakan akibat dari pertumbuhan, perkembangan serta komplikasi yang sering timbul pada tingkat stadium lanjut.
Faktor reproduksi dan hormonal disebut-sebut sebagai faktor risiko yang berpengaruh pada proses perkembangan kanker ovarium. Akan tetapi, dari hasil penelitian pola persebaran penyakit pada populasi di masyarakat menunjukkan bahwa faktor genetik, lingkungan dan gaya hidup memungkinkan untuk meningkatkan bahkan menurunkan risiko terjadinya penyakit yang mematikan ini.
Profesor Heru Pradjatmo juga menyebutkan bahwa obesitas/kegemukan, lemak dari makanan yang digoreng, konsumsi telur, lemak jenuh, dan lemak binatang secara berlebih tampaknya juga meningkatkan risiko kanker ovarium. “Namun, konsumsi serat sayuran maupun buah-buahan (mengandung beta-carotene) memberikan pengurangan risiko penyakit tersebut,” tegasnya
Perkembangan teknologi kedokteran khususnya untuk deteksi dini kanker ovarium juga tidak terlepas dari kesiapan sumber daya dokter yang ada saat ini. Guru besar yang juga dokter konsultan ginekologi onkologi di FKKMK UGM ini juga menegaskan bahwa sampai dengan akhir bulan Februari 2018, sudah tercatat sebanyak 3.861 dokter spesialis ilmu kebidanan dan penyakit kandungan di Indonesia. Akan tetapi, hanya 97 dokter konsultan ginekologi onkologi saja yang ada di Indonesia dan sebagian besar berada di pusat pendidikan. (Wiwin/IRO; Foto: Dian)