Siapa yang tak kenal dengan penyakit demam berdarah dengue (DBD)? Penyakit yang mengancam jiwa ini telah lama menjangkiti Indonesia dan dunia. Demam berdarah menurut istilah kedokteran adalah Dengue Hemorrhagic Fever. DBD merupakan penyakit yang ditimbulkan oleh virus DEN-1 hingga DEN-4 dan ditularkan oleh nyamuk. Virus ini mengancam kehidupan manusia dan kesehatan global. Sekitar 3 miliar orang di seluruh dunia berisiko dan terjadi sekitar 20.000 kematian akibat DBD.
Indonesia merupakan negara kedua terbesar di dunia yang memiliki angka kejadian dengue lebih dari 120.000 orang. Tempat pertama di duduki oleh Brazil, dimana angka kejadiannya mencapai lebih dari 400.000 orang. Hampir seluruh bagian dari Indonesia, yang merupakan negara tropis, menjadi daerah endemis dengue, yaitu daerah yang biasa terjadi kasus dengue. Pada awal tahun ini, beberapa koran nasional memberitakan secara masif tentang wabah dengue yang terus berulang. Padahal pemerintah telah memberlakukan strategi untuk mengendalikan nyamuk seperti Jumantik atau Gerakan 3M plus. Namun kejadian kasus dengue tetap tinggi. Di DIY sendiri pada tahun 2015 lalu terdapat 2.146 kasus dengue, dimana 17 orang diantaranya meninggal dunia.
Mengenai penyakit mematikan ini, Media Efkagama secara eksklusif mewawancarai dr. Ida Saftiri Laksanawati, Sp.A seorang dokter Spesialis Anak yang memiliki perhatian lebih pada isu dengue di Indonesia dan dunia.
“Kita memang masih terus berjuang dalam mengendalikan persoalan dengue ini,” ujar beliau. “Yang jadi masalah adalah angka kematian dapat ditekan hingga 1% dalam waktu lebih dari 2 dekade terakhir, tetapi kejadian kasus masih tinggi. Ini yang masih kita upayakan, karena keberadaan nyamuk sebagai perantara transmisi virus dengue membuat pengendalian penyakit ini menjadi tidak sederhana,” lanjutnya.
Kenyataannya memang program-progam yang ditawarkan pemerintah belum optimal dalam menurunkan insidensi kasus. Selain itu laporan temuan kasus dengue banyak bermunculan dari daerah pemukiman baru atau daerah pemekaran. Hal ini dapat terjadi akibat manusia telah mengusik habitat nyamuk Aedes aegypti dengan aktivitas pembangunan. Tatkala proses urbanisasi dan eksplorasi ke wilayah rimba dilakukan, praktis paparan manusia dengan nyamuk tak bisa terhindarkan, mengingat kebutuhan manusia terhadap air maka akan banyak dibuat tempat penampungan air yang berpotensi menjadi breeding places bagi nyamuk A. aegypti. Akibatnya, nyamuk-nyamuk yang bersifat antropofilik -menyukai darah manusia- ini menyebabkan peningkatan tajam kasus dengue di berbagai tempat.
Ketika urbanisasi mengarah ke pemukiman yang tidak terkontrol, dengan pola sanitasi yang tidak baik, masyarakat telah menjadikan daerah tempat tinggalnya menjadi sumber risiko bertahannya kasus dengue. Meskipun penelitian-penelitian tentang pengendalian vektor -pembawa penyakit- senantiasa ditingkatkan, dapat dikatakan masih sulit untuk mengambil korelasi positif antara hasil temuan laboratorium dengan penurunan kasus dengue di kehidupan nyata.
Formulasi Tepat
Selain itu, Indonesia, termasuk didalamnya pemerintah, akademisi dan masyarakat, masih terus mencari formulasi yang tepat dalam menganggulangi infeksi dengue. Jika dibandingkan dengan negara lain yang telah berhasil menurunkan kasus dengue seperti Thailand dan Vietnam, ada banyak persoalan yang sedikit berbeda. Contohnya adalah Indonesia merupakan negara dengan daerah yang sangat luas, keragaman geografis dan biodiversitas yang tinggi, disertai dengan kepadatan dan karakteristik penduduk yang bermacam-macam.
“Harus ada upaya-upaya inovatif lain untuk mendobrak kemandekan yang ada,” tutur Dokter Ida. Fakultas Kedokteran UGM telah lama berperan serta dalam upaya ini dengan melakukan penelitian tentang pengendalian vektor, deteksi awal penyakit, rumusan kebijakan dan panduan pemerintah dan klinisi yang efektif. Ikhtiar ini didukung pula dengan bergabungnya FK UGM sebagai satu-satunya wakil dari Indonesia dalam Konsorsium Penelitian Internasional untuk Penilaian Risiko, Manajemen dan Surveilans Dengue (IDAMS).
Salah satu penelitian terkait vektor yang terlihat promising dan memiliki kebaruan adalah mengenai bakteri Wolbachia yang ditanamkan dalam nyamuk A.aegypti untuk mencegah pertumbuhan virus dengue. Penelitiannya memang baru berjalan dan menuai banyak pro dan kontra, tetapi hasil sementara menunjukkan harapan-harapan baru.
Dokter Ida menuturkan bahwa saat ini terlalu cepat bagi kita untuk menyimpulkan hasil penelitian ini. Memang masih lama bagi penelitian ini untuk memberikan hasil yang diharapkan. Semoga dengan semakin banyak nyamuk ber-Wolbachia disebar, hal tersebut memiliki korelasi positif pada kejadian kasus dengue di Yogyakarta.
Sedangkan di dunia, vaksin dengue merupakan isu yang hangat dibicarakan. Seperti yang dirilis oleh laman time.com seminggu yang lalu, saat ini sudah ada uji coba klinis vaksinasi dengue di negara Asia Tenggara dan Amerika Latin. Hasilnya dapat dikatakan cukup baik. Terbukti bahwa vaksin ini dapat mencegah keparahan penyakit dan memperpendek waktu tinggal di rumah sakit meskipun tidak dapat mencegah seseorang terjangkit dengue. Namun vaksin ini hanya memberi manfaat pada kelompok usia > 9 tahun, pada anak-anak yang lebih muda tidak memberi dampak yang signifikan. Kini vaksin dengue sedang diregistrasi di BPOM. Negara yang telah lebih dahulu meregistrasi vaksin dengue di dunia adalah Brazil, Meksiko dan Filipina. “Mudah-mudahan vaksin ini bisa segera dirilis di Indonesia,” ujarnya.
Tantangan Indonesia
Tantangan terbesar yang dihadapi oleh Indonesia dalam menghadapi DBD ada 3, yang pertama adalah surveilans yang masih bersifat pasif, dimana laporan dibuat masih berdasarkan laporan dari Rumah Sakit. Kita masih belum dapat mengestimasikan jumlah kasus yang real. Sebaiknya semua lini harus dapat mengambil peran agar deteksi kasus menjadi lebih mudah.
Hal yang kedua adalah manajemen kasus. Meskipun angka kematian dapat ditekan hingga 1%, kita tentu masih berharap agar angka ini masih terus bisa diturunkan lagi. Kita masih berharap jangan ada lagi kasus-kasus yang datang terlambat.
Hal yang terakhir dan paling penting adalah partisipasi masyarakat. Peran serta masyarakat untuk ikut serta secara konsisten menjaga lingkungannya tidak terjangkit dengue memang masih sulit. Berbagai terobosan oleh pemerintah seperti gerakan 3M plus, jumantik dan sebagainya telah lama beredar. Namun masyarakat yang mudah lupa dan bosan menjadi masalah. Sebagai contoh setelah beberapa waktu tidak ada kejadian luar biasa, masyarakat menganggap aman dan menjadi lengah, akibatnya ketika terjadi ledakan kasus, masyarakat hanya bersikap reaktif.
Segera Cari Pertolongan
Hal yang sangat krusial dari pencegahan kematian akibat dengue adalah tidak terlambat mencari pertolongan medis. Gejala paling penting dari dengue adalah demam tinggi mendadak. Untuk mencari pertolongan memang tidak harus di hari pertama demam. Kita juga harus tahu kita berada di wilayah endemik DB dan juga endemik penyakit lain yang memiliki gejala mirip. Setidak-tidaknya jika kita memiliki gejala demam mendadak yang tinggi, disertai gejala nyeri-nyeri seperit nyeri kepala, nyeri tulang, nyeri perut, maka kita perlu mencurigai demam ini diakibatkan infeksi virus dengue.
Sebaiknya orang dengan gejala tersebut segera dibawa ke Rumah Sakit saat hari ke 2 atau ke 3 terjadinya demam tinggi. Jangan hari ke 4 karena fase kritis telah lewat dan mungkin sudah terlambat. Dalam hal ini, sebetulnya akan membantu jika di fasilitas kesehatan memiliki penunjang diagnostik yang mampu mendiagnosis dengue di awal. Meskipun alat diagnostiknya sudah tersedia NS1 masih memiliki keterbatasan.
“Menurut saya DBD itu adalah penyakit yang unik dan dinamis, dimana perubahan terjadi dengan sangat cepat. Sehingga persoalan penegakkan diagnosis di pemeriksaan awal sangat berarti,” ucap Dokter Ida. Alat diagnosis cepat ini (NS1) telah tersedia di seluruh puskesmas yang berada di daerah kota Yogyakarta dan dapat dipergunakan oleh petugas kesehatan untuk membantu menegakkan diagnosis infeksi dengue pada fase awal demam (viremia).
Pada akhirnya, meskipun terdapat penelitian dan alat bantu terbaru untuk mengendalikan penyakit dengue, semua pencegahan harus dilakukan bersama-sama. Metode pengendalian vektor yang konvensional juga harus tetap dilakukan untuk mencapai efek pengendalian vektor yang optimal. Indonesia harus segera menyelesaikan tantangan yang ada untuk menurunkan kejadian kasus dengue dan mencegah naiknya angka kematian akibat dengue. Masyarakat pun perlu ikut terlibat aktif dan parisipatif dalam mencegah penyakit mematikan ini.
“Demam berdarah adalah persoalan kita semua. Penyebab masih tingginya kejadian kasus bersifat multifaktorial, untuk itu diperlukan kepedulian dari semua pihak. Jika ada kecurigaan mengidap penyakit ini, jangan ragu untuk melakukan pemeriksaan sesegera mungkin,” tutup Dokter Ida. (Hafiq/Reporter)