Dari Diagnosis ke Harapan: Perjalanan Hidup Para Pejuang Kanker

“Dulu, kanker dianggap sebagai penyakit yang tampak menakutkan. Namun, selagi melakukan pengobatan secara dini dan mengetahui apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, tidak ada yang mustahil untuk sembuh dari kanker. Tidak semua kanker akan berakhir mematikan, dan tidak semua orang akan tutup usia karena kanker.”

Itulah yang disampaikan oleh Astutiningtyas, seorang perempuan penyintas kanker serviks. Ia berhasil sembuh dari kanker yang diidapnya pada 2010 lalu. Kala itu, Astutiningtyas mengalami perdarahan selama hampir satu tahun. Dia pun memberanikan diri untuk berkonsultasi ke dokter dan melakukan pemeriksaan Patologi Anatomi. Setelah mengkonsultasikan hasil pemeriksaannya ke dokter, Astutiningtyas tahu bahwa kanker serviks stadium 2A sudah ada di dalam tubuhnya.

“Begitu dokter mengatakan bahwa saya kena kanker stadium 2A, dunia itu rasanya kayak tidak keruan. Saya marah dan saya menolak, kok saya?” kata Astutiningtyas memulai ceritanya.

Setelah mengetahui diagnosis dari dokter, Astutiningtyas sempat mengalami fase penolakan. Apalagi, dokter mengatakan bahwa pengobatan kanker tidaklah singkat. Ia juga tidak menyangka, akan ada serangkaian pengobatan seperti kemoterapi hingga radioterapi yang harus dijalani. Pernah membayangkan saja tidak, apalagi merasakannya, pikir Astutiningtyas.

Kisah yang sama juga diungkap oleh seorang perempuan penyintas kanker serviks lainnya, Dwi Indah. Serupa dengan Astutiningtyas, wanita berusia 59 tahun tersebut mulanya mengalami flek selama sekitar enam bulan, pada 2018 silam. Kala itu, Dwi mengira bahwa kondisi tersebut merupakan gejala menopause. Namun, Dwi kemudian mengalami perdarahan hebat seperti haid selama satu minggu. Setelah memeriksakan diri ke dokter onkologi, Dwi didiagnosis memiliki kanker serviks stadium 3B.

Saat dokter mengatakan bahwa dia terkena penyakit kanker, Dwi kaget dan sedih. Awalnya, ia menolak kondisi yang dialami. Namun, saat Dwi pergi ke rumah sakit untuk melakukan pemeriksaan pasca-didiagnosis, ia menyaksikan langsung ribuan pasien kanker dengan berbagai kondisi, sedang mengantre untuk berobat. Seketika itu, Dwi diingatkan untuk bersyukur atas fisiknya yang masih bugar untuk menjalani rangkaian pengobatan.

“Pada awalnya, saya merasa kaget dan sedih. Tapi, setelah itu, saya merasa bersyukur. Ternyata, walaupun saya diberi sakit, saya masih bisa lebih baik dari mereka-mereka yang harus ditemani berobat ke rumah sakit,” ujar Dwi.

Titik Balik Kehidupan

Banyak perubahan yang dirasakan Dwi dan Astutiningtyas setelah didiagnosis kanker. Dwi mengatakan, mulanya ia tidak ingin menceritakan kondisi yang diidapnya kepada keluarga, terutama kepada suami dan anak-anaknya. Ia kemudian tergabung dalam grup Yayasan Kanker Indonesia (YKI) Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang beranggotakan para penyintas kanker untuk saling mendukung dan memberikan berbagai informasi mengenai kemoterapi dan radiasi. Setelah mendapatkan dukungan positif dari grup YKI Cabang DIY, Dwi memberanikan diri untuk menceritakan kondisinya kepada suami dan anak-anaknya.

“Anak-anak sekarang sering mengingatkan saya. ‘Ibu nggak boleh terlalu capek.’, ‘Ibu harus lebih banyak istirahat’. Saya senang aja di-support, sehingga itu membuat saya menjadi lebih baik,” kata Dwi.

Tak hanya dukungan dan perhatian dari keluarga, lingkungan pekerjaan Dwi juga memberikan afeksi terhadap kesehatannya. Para rekan kerja dan mahasiswa Dwi banyak yang memberikan dukungan dan perhatian kepadanya. Alhasil, Dwi merasa bahwa meskipun ia sakit, masih banyak orang yang peduli kepadanya.

“Itulah yang membuat semangat saya tinggi, semakin ingin untuk sembuh. Karena dengan saya sembuh, saya bisa menjadi relawan, bisa memberikan support kepada teman-teman yang terkena kanker,” ucapnya.

Seperti Dwi, Astutiningtyas juga menjadi lebih memerhatikan makanan yang boleh maupun pantang untuk dikonsumsi. Ketika ia masih bekerja, ia tidak terpikirkan bahwa makanan siap saji dan makanan beku berbahaya bagi kesehatan. Kini, wanita berusia 69 tahun tersebut juga tidak mengindahkan perkataan orang lain terkait stigma pada penderita kanker serviks. Apalagi, setelah menjalani kemoterapi, Astutiningtyas sering mengalami kelelahan karena terlalu banyak mendengarkan perkataan orang lain.

“Jadi, mulai sekarang saya berhenti mendengarkan perkataan orang dan saya tidak mau tahu. Karena kalau saya mendengarkan kata-kata mereka, saya terus patah semangat dan tekanan darah saya naik. Yang penting, saya sudah lalui terapi kanker ini dengan baik, dan mudah-mudahan saya diberi umur panjang dan sehat,” ujarnya.

Suka-Duka Menerima Layanan Kesehatan

Selama menjalani pengobatan kanker, Dwi dan Astutiningtyas mendapatkan pelayanan kesehatan yang menyenangkan maupun kurang menyenangkan. Secara administratif, mulai dari sistem pendaftaran hingga masuk ke ruang perawatan, Dwi merasa terbantu oleh pendaftaran konsultasi dan perawatan via daring. Dwi menyebut, dokter yang menanganinya juga memiliki empati yang tinggi, kemampuan komunikasi yang baik, dan interaktif dengan pasien.

Meskipun begitu, Dwi sempat mendapatkan pelayanan yang kurang menyenangkan dari petugas kesehatan. Sebelum memasuki ruang dokter, Dwi melakukan pemeriksaan tekanan darah bersama seorang perawat. Antrean yang panjang membuat perawat tersebut untuk terus mengajaknya berbicara terkait data pasien. Alhasil, hasil pemeriksaan tekanan darah Dwi menjadi cenderung tinggi.

Ketika Dwi meminta untuk dilakukan pemeriksaan ulang agar mendapatkan hasil tekanan darah yang benar, perawat tersebut justru meminta Dwi untuk mengantre lagi. Selain itu, lokasi berbagai pemeriksaan antar gedung dengan jarak yang jauh membuatnya kurang nyaman sebagai pasien.

Astutiningtyas turut berbagi cerita tentang pelayanan yang ia terima di rumah sakit. Ia menyebut, dokter yang menanganinya memberikan pelayanan yang ramah dan berkomunikasi dengan santun. Selain itu, selama menjalani kemoterapi, rawat inap, hingga operasi, Astutiningtyas dirawat langsung di poliklinik Obstetri dan Ginekologi, bukan di pelayanan kanker terpadu, sehingga dirinya dilayani secara cepat dan tidak mengantre lama.

Namun, serupa dengan pengalaman Dwi, Astutiningtyas juga pernah menerima ucapan yang tidak menyenangkan dan dianggap kurang berempati dari seorang petugas kesehatan yang memeriksanya.

“Saya mohon, mungkin kalau ada calon perawat atau calon dokter, yang penting punya loyalitas dan dedikasi kepada profesinya masing-masing. Mungkin kalau perawat, jadilah perawat yang lebih andal. Kalau dokter, jadilah dokter yang lebih bagus,” harap Astutiningtyas.

Menjadi Relawan YKI

Kini, setelah dinyatakan sembuh dari kanker serviks, Dwi dan Astutiningtyas fokus untuk menjadi relawan di YKI Cabang DIY. Kedua penyintas tersebut berkontribusi dalam memberikan edukasi dan dukungan kepada para penderita kanker terkait pentingnya perawatan dan pengobatan sejak dini. Dwi dan Astutiningtyas mengunjungi dan memberikan dukungan secara langsung maupun daring kepada para penderita kanker dari berbagai daerah, seperti Banyumas, Purbalingga, Purworejo, Solo, bahkan luar Pulau Jawa.

Dedikasi sebagai seorang relawan bukan tanpa tantangan. Dwi mengatakan, sebenarnya, para pasien kanker yang ia datangi membutuhkan dukungan untuk segera sembuh. Namun, banyak di antara mereka yang tidak mau terbuka tentang penyakitnya. Selain itu, domisili beberapa pasien dari luar kota menyebabkan kendala dalam hal personel dan transportasi keberangkatan.

“Kadang-kadang, menyamakan waktu itu menjadi halangan. Tapi, kalau memang kondisi pasien harus kita tengok, harus kita beri support, sudah parah, ya kita kadang datang sendiri. Tapi kalau di Yogyakarta, kita kebanyakan datang sendiri,” kata Dwi.

Ia melanjutkan, terkadang, ada pasien yang perlu dukungan penuh untuk sembuh dari kanker. Namun, keluarga justru kurang mendukung, terutama perihal pembiayaan pengobatan. Padahal, menurut Dwi, dukungan dan afirmasi positif dari keluarga dapat meningkatkan harapan pasien untuk sembuh.

“Dengan pola pikir bahwa pasien perlu didukung, ternyata bisa menyembuhkan. Kita (relawan YKI) datang sewaktu-waktu ke tempat mereka yang membutuhkan relawan untuk menghibur dan memberikan semangat, sehingga dia semakin punya harapan,” ujar Dwi.

Sepakat dengan Dwi, Astutiningtyas juga kerap ditolak oleh para pasien saat dirinya berkunjung. Stigma terhadap penderita kanker dan kendala biaya menjadi alasan mereka untuk menolak kunjungan para relawan.

Astutiningtyas sudah menginformasikan kepada para pasien dan keluarga untuk menggunakan BPJS Kesehatan. Namun, sebagian pasien yang berasal dari kelas menengah ke atas enggan untuk menggunakan program tersebut. Meskipun begitu, Astutiningtyas tetap bersikap ramah dalam mengomunikasikan perawatan kanker yang dapat diupayakan oleh pasien dan tidak menyerah untuk kembali berkunjung dan mengedukasi pasien.

“Jadi relawan itu benar-benar pandai berkomunikasi. Maksudnya, kita menghargai apa yang beliau katakan. Jangan sampai pada saat dia berbicara, kita juga berbicara. Jadi, memang seorang relawan itu harus punya semangat yang tinggi, mampu mendengarkan ungkapan pasien dengan baik, dan memiliki kesabaran yang tidak berbatas,” ucap Astutiningtyas.

Sebagai penyintas kanker sekaligus relawan, Dwi berpesan kepada para penyintas, pasien, maupun masyarakat untuk menjaga pola hidup sehat, seperti pola makan sehat dan tidur sesuai jam tidur tubuh.

“Jangan sampai tidak mengindahkan hal itu, karena kanker bisa menyerang siapa saja. Kanker bisa aktif kembali, untuk itu harus atur jam tidur/istirahat, atur pola makan sehat, pola pikir yang sehat dan pola hidup yang nyaman,” kata Dwi.

Sementara itu, Astutiningtyas memberikan semangat untuk para penyintas agar tidak berputus asa untuk terbebas dari kanker.

“Tetap semangat, jangan putus asa, tetap mengedukasi orang-orang sekitar agar hidup sehat,” tutup Astutiningtyas. (Penulis: Citra Agusta Putri Anastasia. Editor: Supriyati)