FK-KMK UGM. Pertengahan Agustus yang lalu World Health Organization (WHO) menetapkan Mpox sebagai keadaan darurat kesehatan masyarakat global atau Public Health Emergency of International Concern (PHEIC). Penetapan ini menyusul peningkatan penyakit yang disebabkan oleh monkeypox virus (MPXV) ini di Republik Demokratik Kongo dan sejumlah negara di Afrika. Bahkan Mpox varian terbaru (clade 1b) telah ditemukan di Asia Tenggara. Varian ini dipercaya lebih ganas dan dapat menyebar lebih cepat. Pemberitaan media tentang penetapan ini pun lantas menimbulkan pertanyaan-pertanyaan netizen yang mencari tahu lebih detail tentang penyakit ini.
Pusat Kedokteran Tropis (PKT) UGM melalui konten “TropmedAsk” mengompilasi pertanyaan-pertanyaan terkait Mpox yang muncul di media sosial dan menghadirkan narasumber yang tepat untuk menjawabnya. Narasumber yang dihadirkan adalah dr. Eggi Arguni, M.Sc., PhD., Sp. A(K)., dokter spesialis anak Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) dr. Sardjito, sekaligus peneliti PKT UGM. Program ini sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan/SDGs, terutama tujuan 3 Kehidupan Sehat dan Sejahtera dan tujuan 4 Pendidikan Berkualitas.
Di awal, dr. Eggi menjawab pertanyaan tentang penyebab penyakit Mpox. “Penyakit ini disebabkan oleh infeksi virus Monkeypox,” jelasnya. Virus ini berasal dari genus yg sama (Orthopoxvirus) dengan virus Variola, penyebab cacar/small pox. Padahal cacar telah dinyatakan eliminasinya sejak 1980. Kedekatan dua virus ini menyebabkan tanda dan gejala kedua penyakit ini pun mirip. Mpox diawali gejala-gejala yang mirip dengan penyakit-penyakit infeksi virus seperti demam, lemas, badan ngilu, dan nyeri kepala. Namun, beberapa hari kemudian muncul tanda di kulit di wajah, telapak tangan dan kaki. Awalnya berbentuk titik berwarna kemerahan, lalu terjadi peninggian kulit yang berisi cairan jernih. Cairan tersebut kemudian berubah menjadi keruh dan akhirnya mengering meninggalkan bekas yang sering disebut keropeng.
Kemudian dr. Eggi menjelaskan terdapat dua jenis penularan Mpox. “Awalnya (Mpox) merupakan penyakit zoonosis, ditularkan oleh hewan ke manusia,” jelas dr. Eggi. Namun, lama kelamaan virus Mpox dapat menular dari manusia ke manusia lain tanpa perantara hewan. Penyebarannya bisa secara langsung melalui droplet yang keluar saat pasien Mpox bersin, batuk atau berteriak. Mpox juga bisa ditularkan secara langsung melalui hubungan seksual, baik oral, vaginal maupun anal.
“Selain itu, Mpox juga bisa tertular secara tidak langsung,” lanjut dr. Eggi. Penularan yang dimaksud ini adalah penularan melalui perantara. dr. Eggi memberikan contoh droplet pasien yang jatuh dan menempel di benda-benda sekitar dan terpegang oleh orang lain. Tangan tersebut kemudian menyentuh mulut hidung atau mata, maka virus dapat tertular. Bahkan berbagi alat makan juga memungkinkan terjadinya penularan. Karena penularan terjadi melalui droplet, maka penggunaan masker dan cuci tangan menggunakan sabun efektif untuk mencegah terjadinya penularan. Tindakan pencegahan lainnya adalah melalui vaksin yang menggunakan komponen utama yang sama dengan vaksin untuk variola. Meski demikian, berbeda dengan vaksin COVID-19, vaksin Mpox tidak diberikan secara massal untuk masyarakat. “Vaksin Mpox hanya diberikan kepada populasi khusus, kelompok orang-orang yang berisiko,” jelas dr. Eggi.
Pertanyaan netizen yang dikompilasi oleh tim cukup beragam. Misalnya, ada yang bertanya tentang kemungkinan kembali diberlakukan lockdown. “Semoga tidak ya,” jawab dr. Eggi. Beliau menjelaskan bahwa terdapat perbedaan antara Mpox dengan COVID-19. Semua orang memiliki potensi yang sama untuk terkena COVID-19. Pada penyakit Mpox, terdapat kelompok tertentu yang berisiko tertular virusnya. Adapun lockdown diberlakukan untuk mencegah transmisi infeksi yang bersifat massal, seperti COVID-19.
Ada pula netizen yang mengaitkan Mpox dengan teknologi nyamuk ber-Wolbachia yang sedang diimplementasikan oleh pemerintah untuk menanggulangi demam berdarah dengue (DBD). Terkait hal ini, dr. Eggi menegaskan bahwa penyakit Mpox sama sekali tidak ada kaitannya dengan penyebaran nyamuk Aedes aegypti ber-Wolbachia baik yang dahulu dilakukan di Yogyakarta maupun di kota-kota lainnya. “Ini dua penyakit yang berbeda, virusnya berbeda, cara penularannya pun berbeda,” tegas dr. Eggi.
Di bagian akhir, dr. Eggi menganjurkan Sobat Tropmed untuk segera mengunjungi fasilitas layanan kesehatan terdekat jika mengalami tanda gejala Mpox. “Puskesmas atau rumah sakit sudah mempunyai alur pemeriksaannya,” jelas dr. Eggi. Jika termasuk dalam kriteria suspek, maka akan diambil sampel yang akan diperiksa di laboratorium. Selain itu, untuk mendukung upaya surveilans yang dilakukan pemerintah, dr. Eggi mengajak Sobat Tropmed yang melakukan perjalanan untuk mengisi Satu Sehat Health Pass. “Ini bertujuan agar pemerintah mengetahui apakah ada kasus atau suspek Mpox,” pungkas dr. Eggi. (Kontributor: Pusat Kedokteran Tropis UGM)
TropmedAsk selengkapnya dapat disaksikan dalam tautan berikut: https://youtu.be/R3U9fu0vGA8