Yogyakarta – Salah kode diagnosis dalam input data rekam medis di rumah sakit dapat menyebabkan kerugian finansial yang sangat besar. Kode diagnosis yang menjadi salah satu variabel penghitungan biaya pelayanan rumah sakit, menghadapi tantangan akibat berlakunya sistem INA-CBGs. Sistem INA-CBGS yang mengelompokkan ragam penyakit dalam kelompok tertentu menciptakan kesulitan dalam sistem pengkodean diagnosis sehingga berdampak pada penghitungan biaya rumah sakit. “Jika kode tidak akurat akan berkaitan dengan uang. Jika kode diagnosis tidak lengkap, maka pembayaran tidak sesuai dengan tindakan. Jika kode salah, maka pembayaran akan salah”, ujar Nurhayati, staff pengajar Sekolah Vokasi Rekam Medis UGM dalam Pelatihan Penerapan ICD-10 di Fasilitas Kesehatan dengan Kabupaten Panajam Paser Utara, Kaltim (18/04). Pelatihan tersebut bekerja sama dengan Pusat Kebijakan Pembiayaan dan Manajemen Asuransi Kesehatan (KPMAK) FK UGM.
Peristiwa ini terjadi di Rumah Sakit di Wates yang harus menanggung kerugian hingga 90 juta rupiah yang dapat diakibat oleh tidak akuratnya kode diagnosis. “Keakuratan kode diagnosis itu penting. Khususnya terkait dengan pembayaran klaim oleh pihak rumah sakit, apalagi di era BPJS nanti yang setiap warga akan terjamin dalam asuransi kesehatan dan pembayaran dilakukan oleh BPJS,” ujar Rawi Miharti, staff pengajar di Sekolah Vokasi Rekam Medis UGM. “Kami yang bergelut di bidang rekam medis tugasnya adalah mengkodekan diagnosis penyakit. Koder yang profesional harus didasarkan pada pendidikan perekam medis yang memadai. Khususnya pada materi ICD- 10,” ujar Rawi Miharti. ICD-10 adalah suatu klasifikasi dan kodefikasi penyakit secara internasional yang sudah diterapkan di Indonesia sejak 1997.
“Sebenarnya pengkodean ini dapat menggunakan sistem lain selain ICD-10, namun kita harus mengikuti sistem yang diberlakukan oleh Departemen Kesehatan RI tersebut,” imbuhnya. “Bahkan masih saja ada tenaga kesehatan yang belum memahami ICD-10 itu sendiri. Sehingga ketika mereka membuat pelaporan, ada saja keterangan “lain-lain” yang cukup tinggi. Akhirnya kode diagnosis “lain-lain” ini menjadi suatu pelaporan yang tidak spesifik”, ujar Nurhayati, staf pengajar Sekolah Vokasi Rekam Medis UGM. “Juga di kasus TB, ada saja kasus pengulangan input diagnosis sehingga ada kasus di suatu daerah yang memiliki kasus TB yang tinggi, padahal yang terjadi adalah pengulangan input pasien saja,” tambahnya.
Daerah Masih Ketinggalan
Ternyata di Kalimantan Timur sendiri sistem pengkategorisasi rekam medis yang masih berlaku adalah ICD-9, padahal Depkes RI sudah menetapkan ICD-10 sejak tahun 1997. Ketertinggalan 16 tahun ini menyebabkan kesulitan di pelaporan data dan tidak bisa sinkronisasi dengan daerah lain. Kendala infrastruktur juga menjadi kendala. Data base kode dignosis juga harus didukung dengan sistem manajemen data kesehatan yang sinkron dengan data Kementrian Kesehatan dan WHO.
“Untuk Kabupaten Penajam Paser Utara sendiri, permasalahan yang banyak dialami oleh fasilitas kesehatan, terutama Puskesmas adalah kesulitan pelaporan yang tidak tepat waktu,khususnya karena masih manual dan kemampuan SDM yang belum memadai,” ujar H. Sutrisno, SKM., MM, Sekretaris Dinas Kesehatan Kabupaten Penajam Paser Utara, Kaltim. Rencana Indonesia mengimplementasi universal health coverage dengan pembentukan BPJS harus memperhatikan akselerasi sinkronisasi manajemen data kesehatan di daerah. Agar nantinya setiap data pembiayaan kesehatan tiap daerah sinkron secara nasional dan tidak terjadi lagi kerugian baik bagi pasien maupun fasilitas kesehatan. (Sumber: Pusat Kebijakan Pembiayaan dan Manajemen Asuransi Kesehatan FK UGM)