Butuh Kebijakan Fiskal Pengendali Konsumsi Minuman Berpemanis pada Pengidap Diabetes

FK-KMK UGM.  Diabetes adalah penyakit menahun (kronis) berupa gangguan metabolik yang ditandai dengan kadar gula darah yang melebihi batas normal. Berdasarkan International Diabetes Federation (IDF) pada tahun 2020 Indonesia menepati posisi ke-7 sebagai negara dengan pengidap diabetes tertinggi dan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 mengalami kenaikan diperkirakan 2% penduduk Indonesia menderita Diabetes Mellitus pada umur ≥ 15 tahun dibandingkan pada tahun 2013 yang hanya 1,5% penduduk.

Pemerintah Indonesia telah melaksanakan berbagai tindakan untuk mengontrol kejadian diabetes dengan menganjurkan masyarakat untuk membatasi konsumsi gula 54-gram sehari. Di samping itu, tindakan terhadap tingginya penjualan minuman berpemanis di sektor industri masih belum dilakukan. Dampaknya, berdasarkan laporan Badan penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan) bahwa beban pengeluaran untuk penyakit tidak menular sudah semakin besar. Pada tahun 2017, BPJS Kesehatan telah melindungi 10,8 juta jiwa atau 5,7% peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dengan membayari layanan penyakit tidak menular ini hingga Rp 14,6 Triliun atau 21,8% dari total anggaran pelayanan kesehatan. Sedangkan, apabila dibandingkan pada tahun 2016, penyakit diabtes telah menghabiskan dana Rp 7,7 triliun.

Atas problematika ini, Pusat Kebijakan Manajemen Kesehatan (PKMK) Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) Universitas Gadjah Mada (UGM) mengeluarkan dokumen kebijakan yang bertujuan untuk mengatasi masalah yang ditimbulkan dari kosumsi minuman berpemanis. Salah satu opsi yang ditawarkan di dokumen kebijakan tersebut berupa pilihan untuk menerapkan kebijakan fiskal dalam hal mendorong perubahan perilaku dalam mengonsumsi produk yang lebih sehat.

Dilansir dari buku Kebijakan Fiskal dan Moneter: Teori dan Empirikal (2011) karya Prof. Wayan Sudirman, kebijakan fiskal adalah penyesuaian dalam pendapatan dan pengeluaran pemerintah untuk mencapai kestabilan ekonomi yang lebih baik dan laju pembangunan ekonomi yang dikehendaki serta umumnya ditetapkan dalam rencana pembangunan.

Hal ini kebijakan fiskal tersebut dapat berupa penerapan pajak ataupun untuk minuman berpemanis pada takaran tertentu dan nilai pajak tersebut dapat bersifat progresif. Beberapa negara di Asia Tenggara seperti Thailand, Filipina, Malaysia, dan Singapura sudah menerapkan pajak pada minuman berpemanis dengan berbagai variasi. Pada tahun 2011 dan 2014 Indonesia pernah mencoba untuk menerapkan kebiajakan ini namun gagal karena kurangnya dukungan penuh dari berbagai kementrian. Pada tahun 2021 ini, Menteri Keuangan Republik Indonesia, Sri Mulyani Indrawati kembali mengeluarkan wacana penerapan bea cukai pada minuman berpemanis di hadapan Komisi XI DRP RI. Kebijakan tersebut tepat dilakukan untuk mengurangi tingginya konsumsi minuman berpemanis masyarakat Indonesia yang telah mencapai 20,23 liter per orang dan menempati posisi ketiga di Asia Tenggara. Sesuai dengan rekomendasi Badan Kesehatan Dunia (WHO), pemerintah perlu menetapkan kebijakan fiskal ini untuk menjaga pola konsumsi minuman berpemanis di masyarakat.

WHO melaporkan bahwa pemberian pajak atas minuman berpemanis merupakan tindakan yang efektif dalam mengurangi konsumsi gula di masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan menaikkan harga pajak minuman berpemanis sebesar 20% dapat menyebabkan penurunan konsumsi sekitar 20% pula, sehingga mencegah obesitas dan diabetes. Dari hasil studi juga menunjukkan bahwa penerapan kebijakan fiskal menghasilkan manfaat kesehatan yang substansial dan juga menghemat biaya perawatan kesehatan. Biaya perawatan kesehatan bahkan bisa lebih dihemat lebih dari 24 kali lipat dari biaya pelaksanaan pajak minuman manis.

Inggris merupakan salah satu negara di Eropa yang sudah mengenakan pajak pada minuman berpemanis. Kebijakan ini disambut baik oleh para perusahaan minuman berpemanis dan mereka dapat berkompetisi untuk menawarkan produk minuman rendah gula. Perusahaan-perusahaan tersebut tetap menjaga pasar mereka dengan melakukan reformulasi produk minumannya. Bahkan, industri minuman ringan di Inggris telah memangkas tingkat gula yang ditambhakan ke produk mereka hingga setengahnya.

“Penerapan kebijakan memiliki tujuan utama yaitu menghambat masyarakat untuk mengonsumsi minuman berpemanis secara berlebihan. Rencana ini seyogyanya didukung oleh berbagai pihak, khususnya dari masyarakat dan para pelaku industri,” ujar Relmbuss Fanda selaku Koordinator Peneliti PKMK UGM. (Arif AR/Reporter)

Berita Terbaru