FK-KMK UGM. Alumni Berbagi merupakan salah satu program unggulan Unit Alumni FK-KMK UGM yang selalu menarik banyak peminat . Namun, ada yang unik dari edisi Alumni Berbagi Oktober (20/10) ini. Mengutip kata sambutan Wakil Dekan Bidang Penelitian & Pengembangan dr. Yodi Mahendradhata, MSc., PhD, Alumni Berbagi kali ini merupakan special edition karena mengusung tema Extraordinary Healthcare dan menghadirkan pembicara dari berbagai latar belakang profesi, seperti tenaga kesehatan di daerah 3T (terluar, terpencil, terbelakang) dan healthpreneur. Dr. Agung Widianto, Sp.B, K-BD selaku ketua panitia berharap para peserta dapat memperoleh sesuatu yang inspiratif dari para pembicara tersebut. “Kita sudah ditunggu oleh bangsa dan negara (untuk mengabdi),” ujarnya kepada para mahasiswa dan alumni yang memadati Auditorium FK-KMK UGM.
Sesi pertama menghadirkan tiga orang tenaga kesehatan yang membagikan kisah mereka selama mengabdi di tiga daerah 3T di Indonesia. Dr Danang Setia Budi mengambil kesempatan mendaftar di puskesmas Tolofuo, Halmahera Barat, Maluku Utara karena merasa telah memiliki pengalaman menjalani internship di Ternate. Namun ternyata ekspetasi dan informasi yang Ia terima dari dinas tidak sesuai realita di lapangan, kenyataannya bekerja di Halmahera tidak senyaman di Ternate. Banyak tantangan yang harus dihadapi oleh dr Danang, antara lain akses transportasi yang sulit, sinyal dan internet yang terbatas, serta listrik yang hanya tersedia pada jam tertentu. Meski sempat kesulitan, semangat dr Danang untuk mengabdi membuatnya menolak untuk menyerah. Rasa ingin memajukan Tolofuo di luar profesinya sebagai dokter pun tumbuh, hingga akhirnya Ia memutuskan untuk menginisiasi Jendela Tolofuo, yaitu program yang bertujuan menyediakan buku gratis bagi anak-anak di Tolofuo. “Hidup cuman sekali, kapan lagi bisa mengabdi,” ujarnya memotivasi para mahasiswa agar jangan takut untuk keluar dari zona nyaman.
Pratiwi Wulan Dhari, S.Kep., NS, seorang perawat bangsal rawat inap di RSUD Natuna, Kepulauan Riau punya cerita yang berbeda. Bila dr Danang mendaftar sendiri untuk bekerja di Tolofuo, Wulan bekerja di Natuna karena mengikuti orangtuanya yang pindah kesana. Ia mengaku bahwa awalnya ada rasa takut dalam dirinya untuk mengabdi di daerah terpencil, namun kini Ia menikmati profesinya sebagai perawat di RSUD dan terlibat aktif dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan. Menurut Wulan, kunci untuk enjoy mengabdi adalah menumbuhkan rasa cinta dan ingin membangun daerah tersebut.
Pembicara ketiga, yaitu Pramitha Sari, S.Gz, Dietisien juga awalnya bekerja di Timika, Papua bukan karena keinginannya sendiri, melainkan karena mengikuti suami. Ia awalnya berekspetasi dapat bekerja sebagai tenaga pengajar di STIKES atau SMK, namun kenyataannya tidak ada lowongan yang membutuhkan pengajar gizi sebab tenaga kesehatan yang paling dicari adalah bidan. Sempat menganggur, Mitha tidak mau berlama-lama berpangku tangan, berawal dari grup edukasi di Whatsapp, Ia akhirnya menjadi dietisien dan konselor menyusui di Timika. Sebagai seorang ahli gizi, Mitha juga menghadapi tantangan sulitnya akses lauk hewani yang segar, sehingga Ia harus cerdik mengolah MP-ASI untuk anaknya agar kebutuhan gizinya tetap dapat terpenuhi.
Berbeda dari sesi pertama, sesi kedua menghadirkan para tenaga kesehatan yang tidak hanya terlibat aktif meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, namun juga membuka lowongan pekerjaan bagi tenaga kesehatan lain. Arina Pramudita, S.Gz adalah owner dari Kawaii Sushi & Suki, yaitu usaha makanan sushi dengan citarasa dan harga yang telah disesuaikan untuk kalangan mahasiswa. Usaha yang telah dirintis Arina sejak bangku kuliah ini berawal dari penjualan di sunday morning sekitar UGM dan kini menjadi pekerjaan tetapnya. Arina juga mengaplikasikan ilmunya sebagai ahli gizi dalam sushi yang ia buat, misalnya ia menggunakan kecap asin yang ia produksi sendiri sebagai alternatif kecap tinggi sodium yang siap jadi.
Pembicara lain yang tidak kalah inspiratif adalah Indaryati, S.Kep., NS., RN, CWCCA, CST, owner pusat perawatan luka Griya Puspa yang mendukung gerakan stop amputasi. Ia percaya bahwa para penderita luka berhak mendapatkan pengobatan alternatif apabila menolak tindakan amputasi, bukan hanya pasrah menerima nasib luka yang semakin bertambah parah. Indaryati menunjukkan slide berbagai luka yang pernah Ia dan timnya rawat, di saat dokter sudah menyerah dan memutuskan bahwa amputasi adalah satu-satunya jalan, Ia masih menaruh harapan bahwa luka tersebut dapat sembuh bila dirawat dengan sungguh-sungguh. Selain itu, Indaryati juga bertekad menerima pasien dari seluruh kalangan, termasuk yang tidak mampu sekalipun. Dengan sistem subsidi silang, Ia berkesempatan melayani pasien yang tidak mampu tanpa menarik biaya sedikitpun.
Dr. dr. H. Sagiran, Sp.B(K) KL., M.Kes, direktur RS Nur Hidayah Bantul juga menekankan pentingnya mengambil kesempatan dalam segala situasi. Dengan membiasakan cerdik melihat peluang, dr Sagiran mengasah jiwa kewirausahaannya sejak bangku kuliah hingga saat ini. Sistem BPJS yang dikenal menekan profit rumah sakit tidak membuatnya berkecil hati, Ia percaya bahwa selalu ada peluang dan mengambil profit melalui cara lain, seperti membuka kantin, uang parkir, dan sebagainya.
Menurut para pembicara, FK-KMK UGM sudah menyediakan hard skill dan soft skill yang lebih dari cukup untuk membekali para alumni terjun langsung ke masyarakat, baik sebagai pengabdi di wilayah 3T maupun sebagai healthpreneur. Namun tetap ada beberapa masukan yang diharapkan dapat meningkatkan kualitas para alumni ke depannya. Misalnya pada bidang pengabdian, community leadership dapat menjadi skill yang sangat penting dalam pendekatan dan strategi mempengaruhi masyarakat. Pada bidang kewirausahaan, mindset bahwa profit yang tinggi juga datang dengan risiko yang tinggi dan mental pantang menyerah perlu lebih ditekankan. Mengingat bahwa UGM terkenal sebagai universitas yang ndeso, namun juga sebagai universitas kelas dunia, para lulusannya pun diharapkan agar tidak hanya punya segudang keahlian yang dapat diandalkan, namun juga mau mengabdi dan dekat dekat dengan masyarakat. (Elwina/Reporter)