FK-KMK UGM. Sebuah studi terbaru yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan pada tahun 2020 menunjukkan bahwa akses terhadap air minum yang benar-benar aman di rumah tangga Indonesia masih rendah, hanya sekitar 11-12%. “Pemerintah berencana meningkatkan angka ini menjadi 15% pada tahun ini,” ungkap Dr. Daniel, M.Sc. dalam podcast Tropmed Talk yang membahas topik kesehatan air.
Sasaran global yang tercantum dalam Sustainable Development Goals (SDG) poin 6.1 menargetkan semua orang di seluruh dunia mendapatkan akses ke air minum yang aman. “Keamanan air berarti tersedia 24 jam dan mudah diakses,” jelas dosen di Departemen Perilaku Kesehatan, Lingkungan, dan Kedokteran Sosial Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) UGM.
Indonesia menghadapi tantangan yang kompleks dalam mencapai tujuan ini, terutama karena faktor geografisnya yang beragam. Investasi besar dalam layanan air dan sanitasi menjadi krusial, namun dukungan sektor swasta sangat dibutuhkan.
Dalam pembahasan tentang keamanan air, Dr. Daniel menjelaskan bahwa air yang terlihat jernih belum tentu aman. “Ada kemungkinan terdapat patogen di dalamnya,” tegas Dr. Daniel. Secara biologis, banyak patogen dapat terkandung dalam air yang menyebabkan berbagai penyakit seperti diare, kolera, dan penyakit yang disebabkan oleh kualitas air buruk lainnya. Selain parameter biologis, keamanan air juga harus diperiksa dari aspek kimia dan fisika.
Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk mengetahui kualitas air yang mereka gunakan. Dr. Daniel mendorong agar masyarakat membawa sampel air yang biasa mereka konsumsi untuk diperiksa di laboratorium. “Bisa berasal dari kran, sumur, atau galon yang digunakan,” tambahnya. Di Yogyakarta, seluruh puskesmas sudah dilengkapi untuk melakukan uji kualitas air, yang akan membantu menentukan perlakuan yang tepat sebelum air tersebut dikonsumsi.
Dr. Daniel juga menjelaskan bahwa air galon dan air sumur atau PDAM adalah jenis air yang paling umum dikonsumsi. Secara umum, air galon sudah aman dari segi kimia dan fisik. “Namun, penting untuk memeriksa secara biologis apakah terdapat patogen di dalamnya,” pesannya. Dr. Daniel menyarankan untuk memasak air sumur atau PDAM hingga matang sebelum dikonsumsi. Tindakan pencegahan lainnya termasuk menyaring air menggunakan filter komersial yang tersedia.
Namun demikian, air yang dimasak hingga matang tidak selalu menjamin keamanannya untuk dikonsumsi. Kebersihan juga menjadi faktor penting setelah proses memasak. “Masyarakat seringkali memindahkan air ke wadah lain setelah dimasak,” jelas Dr. Daniel. Wadah yang digunakan harus tetap terjaga kebersihannya, dan cara penyimpanannya juga harus aman.
Perbincangan dalam podcast juga membahas masalah pengelolaan sampah di Yogyakarta, dimana sistem pembuangan sampah open dumping masih umum digunakan. “Hal ini menghasilkan air lindi, cairan kimia dari bahan seperti plastik atau zat berbahaya dalam sampah,” papar Dr. Daniel. Cairan ini dapat mempengaruhi kualitas air di sekitarnya, meskipun patogen biologis biasanya tersaring oleh alam sebelum mencapai sumber air.
Dengan demikian, Dr. Daniel menyarankan agar masyarakat yang tinggal dekat dengan tempat pembuangan akhir (TPA) untuk tidak menggunakan air sumur sebagai sumber air minum. “Lebih baik menggunakan air PDAM jika tersedia,” pesannya. Bahkan untuk kebutuhan lain seperti mandi dan mencuci, Dr. Daniel menyarankan untuk menggunakan air yang tidak bersumber dari sumur dekat TPA, sebagai langkah pencegahan untuk menghindari dampak buruk dari kualitas air yang tidak sehat. (Kontributor&Foto: Pusat Kedokteran Tropis FK-KMK UGM. Editor: Dian/Humas)