AHS UGM Perkuat Sistem Regional Hadapi Omicron

FK-KMK UGM.  Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) UGM, sebagai bagian dari Academic Health System (AHS) UGM menyambut baik penyelenggaraan workshop “Penguatan Sistem Kesehatan Regional di DIY dalam menghadapi varian Omicron”, yang digelar secara daring, Jumat (4/2).

Wakil Dekan Bidang Kerjasama, Alumni, dan Pengabdian Masyarakat FK-KMK UGM, dr. Yodi Mahendradhata, M.Sc., Ph.D., FRSPH., dalam kesempatan tersebut mengungkapkan bahwa bagaimanapun untuk saat ini Omicron telah mengambil alih posisi Delta.

“Lonjakan kasus ini nyata, kita telah memasuki gelombang 3 dengan puncaknya diprediksikan pada akhir bulan Februari 2022.  AHS UGM perlu memaksimalkan potensinya untuk menghadapi varian Omicron,” ungkapnya.

Forum workshop ini menurutnya menjadi ruang untuk mengaktifkan simpul-simpul penanganan COVID-19 dengan berkaca pada pembelajaran penanganan sebelumnya.

“Harapannya melalui workshop ini bisa memperkuat sistem regional DIY dalam menghadapi Omicron, mulai dari mitigasi kebijakan nasional berbasis tinjauan ilmiah maupun lapangan, hingga mempersiapkan langkah-langkah yang bisa dilakukan mulai dari penguatan sistem rujukan, komunikasi, shelter masyarakat maupun RS Lapangan. Konsolidasi ini untuk memperkuat apa yang sudah dipersiapkan agar upaya mitigasi bisa dilakukan secara maksimal,” imbuh dr. Yodi.

Workshop AHS UGM dengan bahasan khusus tentang penguatan sistem regional dalam mengantisipasi Omicron ini juga menghadirkan pakar epidemiologi FK-KMK UGM, dr. Riris Andono Ahmad, MPH., PhD., atau sering disapa dr. Doni ini sebagai pematik diskusi. Melalui beberapa contoh kasus yang terjadi di Amerika Serikat, Australia, Inggris maupun India, dr. Doni berupaya melihat apakah Omicron akan menyebabkan situasi darurat seperti saat gelombang varian Delta melanda Indonesia, ataukah mungkin sebaliknya.

“Kalau kita melihat secara global, hari ini memang Omicron berhasi mendorong kasus jauh lebih tinggi daripada varian sebelumnya. Meskipun dengan jumlah kematian lebih kecil daripada gelombang varian Delta. Omicron ini penyumbang kasus terbesar di Eropa dan Australia, namun untuk Asia masih tergolong relatif kecil untuk saat ini,” ungkap dr. Doni mengawali paparannya.

Apabila melihat kenaikan maupun penurunan kasus COVID-19 di Indonesia, dr. Doni menyampaikan bahwa Indonesia seperti mengikuti proporsi tren kasus di India. “Baik untuk gelombang satu, dua, maupun untuk yang ketiga ini, Indonesia mengalami kenaikan setelah India mengalami penurunan kasus,” imbuhnya.

Gejala umum Omicron setidaknya relatif sama dengan varian lainnya. Hal tersebut juga berlaku bagi yang tidak bergejala. Namun, dalam hal ini, dr. Doni menggarisbawahi terkait tingginya kemampuan reinfeksi Omicron dibandingkan varian lain.

“Data dari Inggris menunjukkan bahwa Omicron memiliki kemampuan reinfeksi 16 kali lipat. Capaian vaksinasi tinggi bukan berarti kita akan bisa menghindari meluasnya Omicron. Problemnya adalah ketika Rate hospital dan kematian rendah, dengan transmisi lebih tinggi maka Omicron bisa menghasilkan efek lebih tinggi dari varian Delta,” tegasnya.

Di penghujung paparannya, dr. Doni menyampaikan beberapa permasalahan potensial yang muncul dalam pengendalian Omicron. Pertama, adanya kasus infeksi tinggi dalam gelombang Omicron, mengakibatkan tingginya kebutuhan tempat isolasi dengan kapasitas yang jauh lebih besar untuk mengantisipasinya. Kedua, gelombang Omicron mengakibatkan jumlah hospitalisasi bisa sama atau lebih tinggi dari gelombang Delta jika kasus infeksi ini mengalami peningkatan dengan cepat.

Ketiga, Jumlah kematian akibat Omicron bisa sama dengan gelombang Delta. Keempat, tingginya kasus anak dalam gelombang Omicron ini mengakibatkan munculnya kebutuhan  tempat isolasi ramah anak. Kelima, orang yang belum tervaksinasi dan komorbid menjadi kelompok rentan atau berisiko tinggi hospitalisasi dan kematian.

Acara workshop ini juga menghadirkan beberapa pakar yang membahas mengenai penataan Incident Command System, penguatan dan pengaktifan shelter masyarakat maupun lapangan, simulasi sistem rujukan, maupun pengembangan strategi komunikasi antar Rumah Sakit. (Wiwin/IRO)