Multidrug resistant tuberculosis (MDR-TB)

Penyakit tuberkulosis disebabkan oleh infeksi M. tuberculosis. Penyakit ini masih merupakan masalah utama penyakit infeksi di Indonesia. Permasalahan dalam menangani penyakit tuberkulosis meliputi sisi pencegahan, diagnosis, dan juga penatalaksanaannya. Penanganan penyakit ini menjadi semakin rumit setelah munculnya strain M. tuberculosis yang tidak lagi peka terhadap obat anti tuberkulosis. Frekuensi terjadinya resistensi ini semakin lama semakin tinggi. Multi-drug-resistant tuberculosis (MDR-TB) adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu strain M. tuberculosis yang resisten terhadap paling tidak isoniaid (INH) atau rifampicin (Rif). Kedua obat ini adalah obat utama yang tadinya sangat efektif membunuh kuman M. tuberculosis.

“Masalah tidak bisa dianggap enteng, makin tinggi. Memberikan penggugah kpd teman2 yg berminat dlm bidang ini untk bersama2 bekerja,” ujar ketua panitia dr. Tri Wibawa, PhD, SpMK

HIV/AIDS, malaria dan tuberkulosis telah ditetapkan di dalam Millennium Development Goals (MDGs) sebagai penyakit prioritas yang dapat dikendalikan pada tahun 2015. Berkaitan dengan hal-hal tersebut di atas, maka pada ASM 2015 ini kembali mengadakan seminar sehari yang akan membahas aspek pencegahan, klinis, dan diagnosis dari MDR-TB. Seminar sehari ini diselenggarakan pada hari Sabtu, 7 Maret 2015 di Auditorium Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Menurut dr. Tri Wibawa diagnosis MDR TB kini dapat dilakukan di Bagian Mikrobiologi FK UGM. “Kita punya alat Gene Expert untuk menjawab tantangan ini. Alat ini didapat dari Kemenkes. Alat ini baru ada 41 di seluruh Indonesia dan di Yogyakarta hanya ada 1 di UGM ini. “Seminar ini meliputi beberapa topik yakni program pengendalian MDR tuberculosis dan masalahnya di Indonesia, Global MDR-TB eradication programs. Khusus aspek klinis pada kesempatan ini akan dibahas pula penegakan diagnosis laboratorium tuberculosis, penatalaksanaan MDR-TB pada pasien anak dan dewasa. Disamping itu seminar ini juga mengangkat topik uji kepekaan OAT dan Interpretasinya, mekanisme resistensi pada M. tuberculosis dan pengembangan terbaru vaksin M. tuberculosis. Sebagai pembicara adalah dr. Cristin Widianingrum, M.PH [Kasubdit Tuberkulosis Kemenkes RI], Prof. dr. Agus Sjahrurachman, PhD, SpMK(K) [Guru Besar Mikrobiologi FK UI], Jan Voskens, MD, MPH (Country Director KNCV Tuberculosis Foundation), dr. Sumardi, SpPD-KP [FK UGM/RSUP Dr. Sardjito], dr. Rina Triasih, PhD, SpA(K) [FK UGM/RSUP Dr. Sardjito], dr. Yodi Mahendradata, MSc, PhD [FK UGM], dr. Abu Tholib Aman, MSc, PhD, SpMK(K) [FK UGM], Dr. Dra. Ning Rintiswati, MKes (FK-UGM), dr. Tri Wibawa, PhD, SpMK (FK UGM)

Seminar ini sangat bermanfaat untuk para peserta. Peserta yang datang dari berbagai kalangan mulai dari peneliti hingga klinisi nampak antusias mengikuti seminar. Beberapa peserta juga nampak serius membaca poster yang ditampilkan di lobi Auditorium FK UGM. “MDR pada HIV lebih tinggi, yang paling mungkin adalah karena imunitasnya. Beratnya pada TB adalah diagnosis, itu tantangan terbesar kita. Adanya TB pada HIV harus dengan Gene Expert karena tidak mungkin menunggu dahak, apalagi jika ekstra pulmoner. Kita juga harus melacak riwayat pengobatan sebelumnya dan mengetahui pola resistensi obat pada pasien tersebut”, ujar dr. Yanri S, PhD, SpPD.

Sebagai salah satu center yang memiliki alat yang dapat meningkatkan pelayanan kesehatan pada penderita TB kita patut berbangga walaupun alat ini masih punya beberapa kelemahan diantaranya jumlahnya yang sangat terbatas dan tidak bisa mobile atau tidak bisa dibawa lapangan. “Tapi alat ini ini jauh lebih baik daripada yang dulu. Dalam jangka 1 jam kita akan mengetahui status Tb pasien dan dan apakah masih sensitf terhadap rifampicin atau tidak. Drug Susceptibility Test lini pertama sudah diakreditasi oleh Kemenkes. Spesimen bisa langsung dikirim ke Bagian Mikrobiologi FK UGM baik dari Sardjito atau langsung dari Puskesmas”, ujar dr. Tri Wibawa.

“Dengan seminar ini saya harap teman-teman dapat tergugah untuk bersama-sama bekerja menanggulangi masalah ini”, tutup dr. Tri Wibawa. (Bagas/kontributor)