Transformasi Pendidikan-Pelayanan Kedokteran

JB.Soebroto

Tanggal 5 Maret 2025 FK-KMK UGM memperingati Dies Natalis ke-79, yang momentumnya saat transisi pemerintahan. Ternyata masalah pendidikan dan layanan publik masih dilematis. Saat Jepang hancur karena bom maka yang diutamakan adalah pendidikan dan layanan publik; bukan tentara perangnya. Relevan justru, saat ini tepatlah kita mereformasi pendidikan dan layanan publik secara komprehensif. Opini ini mengambil contoh di bidang kedokteran.

Inovasi di FK-KMK UGM

FK UGM lahir di Klaten, tumbuh kembang BALITA sampai Remaja-Dewasa Muda di Komplek Kraton Mangkubumen Jogjakarta. Kemudian, pindah menyatu dengan induknya ke UGM di Sekip Jalan Kaliurang. Inovasi transformasi pendidikan pun terus dilaksanakan; tahun 1990 dimulai dengan inovasi pendidikan PBL – SPICES yang terus bergulir mengalir relevan mengikuti tantangan dan kebutuhan. Setiap Edisi Media Efkagama pun selalu bernuansa tema inovatif pendidikan; berturut-turut dari tahun 2020: Menguatkan Pendidikan, Meningkatkan Kualitas SDM Kesehatan, Bersama Mengatasi Covid-19, Sinergi AHS Menghadapi Pandemi Covid19, Refleksi 1 Tahun Pandemi Covid-19, Percepatan Inovasi Pendidikan Selama dan Pasca Pandemi, Emergensi dan Kolaborasi Penanganan Eskalasi Pandemi, Peralihan Pandemi Menuju Endemi, Semangat Pulih Bersama Maju Bersama, Transformasi Pendidikan Kesehatan, Peran Institusi Pendidikan dalam Implementasi Kedokteran Presisi, Implementasi Big Data dalam Penguatan Tri Dharma Perguruan Tinggi, Merajut Sinergi, Membangun Resiliensi, Pendidikan Interprofesional, Tata Kelola Riset & Pelayanan Genomik, Menjaga Harmoni, Mendorong Inovasi, Transformasi Pendidikan Yang Dinamis & Adaptif, Kemandirian Obat dan Alkes, Mendorong Sinergi Mengawal Transformasi terkini.

Transformasi Pendidikan Kedokteran

Saat ini relevan dipertimbangkan pendidikan akseleratif dengan terus berkembangnya teknologi pelayanan kesehatan yang cukup problematik; terkesan para Dokter praktek learning by doing mandiri mengimplementasikan teknologi. Sejarahnya, pendidikan Dokter manual di implementasikan dalam pelayanan manual disertai budaya filosofi di zamannya; bermula dan berlangsung secara komunikatif transformatif karitatif. Faktanya, pelayanan Dokter pun berkembang mengikuti pengaruh perkembangan teknologi yang cenderung bergeser pragmatis konsumtif transaksional; pendidikan dokter pun balik mengikutinya. Padahal sebagian besar masyarakat yang wajib dilayani masih konservatif. Demikian juga dokter-dokternya yang berusia tua. Untuk itu perlu dipertimbangkan transformasi pendidikan Dokter yang berorientasi teknologi canggih dengan tetap bermodal sejarah inovasi pendidikan pendekatan PBL-SPICES, komunikasi dialogis personal – filosofi Ki Hadjar Dewantara (Ing Ngarsa – ing Madya – Tut Wuri – di dalam suasana yang menyenangkan ibaratnya taman); InsyaAllah pendidikan materi ilmu Kedokteran akseleratif teknologi canggih dengan cara yang canggih akan lebih efektif dan menyenangkan. Ibaratnya pisau bermata dua, janganlah terlena menjadikan mudharatnya lebih besar dari manfaatnya. Sentuhan humanistik tak mungkin tergantikan oleh teknologi. Teknologi wajib diposisikan sebagai pendamping bukan pendukung atau pelengkap. Bukankah, di program Asta Cita pemerintah Presiden Prabowo masih tercantum Pancasila dan filosofi dasar lainnya, bahkan teknologi canggih diposisikan sebagai teknologi enable (tantangan dilematis). Janganlah kita terjebak oleh politik-politik keserakahan yang menyelinap di antara program yang kelihatannya rapi dan bagus.

“Dua Sisi Mata Uang”

Ibaratnya “dua sisi mata uang”; pendidikan-layanan publik termasuk keuangannya tak terpisahkan. Semuanya secara historik memang berkembang berdampingan mengikuti budaya, filosofi, jalan pikiran orientasi hidup-tugas di zamannya. Sebelum tahun delapan puluhan, jasa medis ditentukan berdasarkan tenggang rasa pihak Dokter dengan Pasien. Pasien yang berkecukupan otomatis memberi uang jasa medis sebagai ungkapan terima kasih, relatif lebih tinggi; di sisi lain Dokter menerima jasa medis seadanya bahkan gratis. Hal ini pun berkembang menjadi ekstrem; orang kaya merasa mantap dan bangga apabila membayar tinggi. Demikian Sang Dokter dengan dalih membatasi jumlah pasien agar tidak kelelahan memberlakukan tarif tinggi. Sampai timbullah pemeo “orang miskin tidak boleh sakit, karena jasa pelayanan Dokter mahal”. Sehingga, muncullah revolusi pelayanan kesehatan BPJS, yang jasa medisnya cenderung rendah; timbullah pemeo “sekolahnya relatif lama, sulit, mahal-kerjanya berat gajinya setara UMR”. Akhir-akhir inipun birokrasi BPJS cenderung “membingungkan-mengkhawatirkan sampai jasa medisnya”. Sehingga, berita menggembirakan pemerintah akan menaikkan gaji guru. Sekaligus dipertanyakan apakah UU memungkinkan gaji dosen Kedokteran dan jasa medis determinatif diferensiasi lebih tinggi, ibaratnya seperti gaji BUMN dan tunjangan DPR?

Filosofi Upah

Firman agama mengatakan “orang hidup harus bekerja dan berhak mendapatkan upah; usahakanlah dulu bekerja sesuai kebenaran perintah Allah, maka kebutuhanmu akan dicukupkan”. Perintah Allah ini menekankan bahwa tujuan hidup-bekerja adalah kerja ibadah menjalankan perintah Allah untuk bekerjasama dengan sesama terintegrasi proses jalan husnul khotimah menuju ke Surga; sedangkan bonusnya adalah cukup rejeki yang barokah. Ironisnya, keserakahan tipu daya iblis membaliknya menjadi “tujuan target utama bekerja adalah mengejar rejeki duniawi sampai lebih dari cukup sekaligus mengharapkan bonusnya surga”. Ibaratnya membeli helm mengharapkan atau minta bonus sepeda motor. Maka, dalam konteks ini wajib diingatkan bahwa “filosofi kerja adalah berusaha keras, kerja ibadah dengan keyakinan rejeki barokah akan mengikuti bahkan mengejarnya”. Jangan dibalik menjadi “kerja keras mengejar uang bahkan dengan target berlebihan dengan segala cara”. Kalau kita saat ini sudah merasa berusaha keras bekerja ibadah, namun rejeki belum mengikutinya, maka kemungkinan karena sistem keadilan belum dilaksanakan di negeri ini atau yang jelas ternyata korupsi yang “terstruktur”. Inilah yang sekaligus menjadi tantangan pendidikan utama saat ini.

Memberi-Menjadi Contoh

Di dalam dunia pendidikan dan layanan publik pemerintah, sangat dibutuhkan figur teladan. Pemeonya memberi-menunjukkan contoh itu mudah tetapi yang sulit itu menjadi contoh teladan. Momentum transisi pemerintahan baru ini sangat dibutuhkan figur-figur teladan; karena terkesan saat ini semakin sulit mendapatkan tokoh figur teladan bangsa. Banyak tokoh, pejabat yang memberi atau menunjukkan contoh saja sulit apalagi menjadi contoh. Banyak lulusan pendidikan profesional yang setelah menjadi pejabat eksekutif pun berubah “menjadi bodoh-ABS”; akibatnya pemerintahan tidak efektif-efisien bahkan cenderung korupsi berjamaah, egois, tidak pro rakyat. Tekad Bapak Presiden saat retret pejabat menekankan bahwa setiap pejabat adalah abdi-pelayan rakyat sangat sulitlah untuk sekaligus menjadi teladan kinerja apabila para Menteri tidak memiliki sub profesionalisme di bidang masing-masing. Sebagai seorang dokter dan dosen sangatlah merasa janggal dan pesimis apabila Menteri Kesehatannya bukan seorang dokter yang subspesialis di bidang kemasyarakatan; Menteri Pendidikan bukan seorang subspesialis di bidang spesialis pendidikan. Demikian juga seterusnya di Kementerian lain. Demikianlah tekad Bapak Presiden untuk memberantas sekaligus mengumpulkan balik uang korupsi, sangatlah cukup untuk menaikkan gaji guru, dosen, tenaga layanan secara determinatif-diferensiasi; sedangkan rencana reshufel kabinet betul-betul dipilih figur sub profesional dengan track record yang bersih.  Amin (Penulis, Mantan Tim Inovasi Pendidikan FK-KMK UGM, Dosen Agama Kedokteran, Mantan Ketua Komunitas Dokter Marganingsih DIY)