FK-KMK UGM. Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK-KMK UGM bersama Asosiasi Produsen Alat Kesehatan Indonesia (ASPAKI) dan Himpunan Perusahaan Alat Kesehatan Indonesia (HIPELKI) menggelar Focus Group Discussion (FGD) pada Senin, 5 Mei 2025, untuk membahas dampak kebijakan impor dan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) terhadap keberlangsungan industri alat kesehatan nasional. Diskusi ini diselenggarakan sebagai respons atas naiknya tarif timbal balik dari Amerika Serikat sebesar 47% serta wacana pelonggaran aturan TKDN oleh pemerintah Indonesia.
Dalam sambutan pembuka, Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc., PhD menegaskan urgensi memperkuat kemandirian alat kesehatan nasional pasca pandemi. Menurutnya, ketergantungan pada impor selama krisis kesehatan global telah membuka mata banyak pihak terhadap pentingnya membangun ekosistem industri dalam negeri yang Tangguh dan mandiri. FGD ini terbagi dalam dua sesi dengan total empat narasumber, empat penanggap, dan dua moderator.
Pada sesi pertama, Prof. Laksono memaparkan materi bertajuk Gejala Deindustrialisasi Alat Kesehatan dan Dampaknya terhadap Ketahanan Nasional. Ia menyampaikan bahwa pelonggaran TKDN secara terburu-buru justru berisiko menjerumuskan Indonesia ke dalam deindustrialisasi prematur, mengingat masih rentannya struktur industri alat kesehatan nasional. Sementara itu, Maura Linda Sitanggang, S.Farm., Apt., PhD dalam materinya yang berjudul Langkah Strategis Menghadapi Tarif Timbal Balik AS, menyoroti pentingnya strategi diplomasi aktif ke Amerika Serikat sambil tetap mempertahankan perlindungan cerdas terhadap industri nasional.
Ketua Umum ASPAKI, Imam Subagyo, dalam sesi tanggapan, menyatakan penolakan tegas terhadap usulan penghapusan TKDN. Ia mendorong pemberian insentif fiskal yang lebih besar untuk riset dan pengembangan teknologi alat kesehatan. Ronald Tundang dari Pusat Studi Perdagangan Global UGM menambahkan bahwa keberadaan TKDN masih dapat dibela di forum internasional, seperti WTO, melalui rujukan Pasal XX GATT tentang perlindungan kesehatan publik, asalkan kebijakan tersebut tidak bersifat diskriminatif.
Pada sesi kedua, Prof. Tri Mulyaningsih, SE., M.Si., PhD memaparkan kontribusi signifikan sektor alat kesehatan terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Ia mencatat bahwa industri ini telah menyumbang sekitar 19% terhadap PDB sektor pengolahan. Namun, sebagian besar masih didominasi oleh industri padat karya bernilai tambah rendah. Sementara itu, Taufiq Adiyanto, SH., LLM menyampaikan tantangan hukum yang dihadapi kebijakan TKDN di tingkat global, termasuk potensi gugatan WTO jika pelonggaran TKDN hanya diarahkan kepada satu negara, seperti AS—mengacu pada preseden kasus India-Solar Cells.
Dalam penutupan, dr. Randy Teguh selaku Ketua Umum HIPELKI menegaskan bahwa dukungan terhadap industri alat kesehatan tidak boleh hanya berhenti pada regulasi TKDN semata. Ia menekankan perlunya pengawasan implementasi TKDN yang ketat, dukungan dari hulu ke hilir, serta kolaborasi antara pelaku industri dan akademisi untuk memastikan kebijakan berjalan efektif dan berpihak pada penguatan daya saing nasional. Kegiatan ini sejalan dengan SDG 3: Kehidupan Sehat dan Sejahtera, SDG 9: Industri, Inovasi dan Infrastruktur, dan SDG 17: Kemitraan untuk Mencapai Tujuan. (Kontributor: Fajrul Falah).