Peringati Hari Malaria Sedunia, Guru Besar UGM: Malaria Belum Pergi, Ancaman Nyata di Perbatasan Negeri

FK-KMK UGM. Hari Malaria Sedunia diperingati setiap 25 April sebagai pengingat bahwa Malaria masih menjadi ancaman yang nyata. Meski berbagai wilayah di Indonesia telah berhasil menurunkan angka kasus, tren dalam dua tahun terakhir menunjukkan peningkatan yang mengkhawatirkan. Tahun 2024, estimasi kasus Malaria nasional mencapai hampir satu juta, menandakan bahwa eliminasi Malaria belum tercapai sepenuhnya. “Padahal harapannya Indonesia mencapai eliminasi Malaria pada 2030,” jelas Prof. dr. E. Elsa Herdiana Murhandarwati, M.Kes, Ph.D pada podcast TropmedTalk yang dilaksanakan oleh Pusat Kedokteran Tropis (PKT) FK-KMK UGM.

Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit Plasmodium, yang ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk Anopheles sp. betina. Parasit ini masuk ke aliran darah dan menyerang sel darah merah, menyebabkan gejala seperti demam periodik, menggigil, nyeri kepala, dan kelelahan. Berbeda dengan nyamuk Aedes yang menularkan demam berdarah dan aktif di pagi hingga sore hari, nyamuk Anopheles sp. umumnya menggigit pada malam hingga dini hari.

Wilayah Indonesia Timur, terutama Papua, masih menjadi episentrum penularan Malaria di Indonesia, dengan kontribusi sekitar 91% dari total kasus nasional. “Perlu prioritas untuk penanganan Malaria di Papua,” jelas Prof. Elsa. Kondisi ini diperparah oleh lingkungan geografis yang mendukung perkembangbiakan nyamuk Anopheles sp.—seperti hutan lebat, rawa, dan genangan air alami—serta terbatasnya akses layanan kesehatan di daerah pedalaman. Distribusi tenaga medis yang belum merata, tantangan logistik, serta tingginya aktivitas masyarakat di area terbuka tanpa perlindungan juga memperbesar risiko penularan.

Secara umum, wilayah perbatasan negara menjadi salah satu titik rawan penyebaran Malaria. Untuk itu, PKT UGM bersama Asia Pacific Leaders Malaria Alliance (APLMA) melaksanakan riset operasional di wilayah perbatasan Indonesia–Timor Leste. Tujuan riset ini adalah mengidentifikasi hambatan-hambatan utama dan merumuskan solusi praktis berbasis bukti yang bisa diterapkan oleh kedua negara.

Riset ini krusial untuk dilakukan mengingat vitalnya lintas batas negara dalam upaya eliminasi Malaria. “Bayangkan jika satu negara sudah hampir eliminasi Malaria, tapi negara tetangganya masih tinggi kasusnya,” papar Prof. Elsa. Kondisi tersebut bisa menyebabkan apa yang disebut “kasus impor.” kerja sama lintas batas membuka peluang besar untuk berbagi informasi dan sumber daya. Misalnya, negara-negara bisa saling berbagi data kasus, mendirikan pos kesehatan bersama di perbatasan, dan melakukan deteksi dini agar penularan bisa dicegah lebih cepat.

Hasil riset kemudian ditindaklanjuti dalam kegiatan diseminasi dan pertemuan satuan tugas bersama (joint task force) lintas negara. Tiga intervensi utama yang dihasilkan antara lain: pembangunan dashboard data lintas batas, penguatan surveilans migrasi, dan pembentukan gugus tugas bersama untuk Malaria. Pendekatan ini menjadi strategi penting untuk memperkuat koordinasi dan komunikasi antarnegara, serta menjaga keberlanjutan upaya eliminasi.

Hari Malaria Sedunia 2025 menjadi momen penting untuk memperkuat kolaborasi lintas sektor—antara pemerintah, peneliti, dan masyarakat—dalam mengejar target Indonesia bebas Malaria tahun 2030. Pencegahan, deteksi dini, dan kerja sama lintas batas merupakan kunci untuk mengakhiri Malaria, tidak hanya mengancam kesehatan, tapi juga menghambat pembangunan sosial dan ekonomi. Kontribusi FK-KMK UGM ini sejalan dengan SDG 3: Kehidupan Sehat dan Sejahtera, SDG 9: Industri, Inovasi, dan Infrastruktur, serta SDG 17: Kemitraan untuk Mencapai Tujuan. (Kontributor: Muhammad Ali Mahrus).