FK-KMK UGM. Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (PKMK FK-KMK UGM), dengan dukungan INKLUSI, memaparkan hasil penelitian mengenai pelayanan kesehatan bagi penyandang disabilitas dalam pencapaian Universal Health Coverage (UHC).
Diseminasi berlangsung secara bauran di Auditorium Gedung Pascasarjana Tahir, FK-KMK UGM pada Rabu (30/10) dengan dihadiri berbagai pemangku kepentingan, termasuk perwakilan Kementerian Kesehatan, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, lembaga swadaya masyarakat (LSM). penyandang disabilitas, dan pemerhati lainnya.
“Untuk mencapai UHC, tidak ada pembeda, tidak boleh ada satu pun yang tertinggal. Selalu ada pandangan bahwa akses ini terkait investasi, namun itu semua bisa diatasi dengan semangat bahwa pelayanan kesehatan itu harus inklusif,” sambut Direktur PKMK FK-KMK UGM, Dr. dr. Andreasta Meliala, DPH., M.Kes., MAS.
Penelitian ini dilaksanakan di tiga wilayah, yaitu Bali, DI Yogyakarta, dan Nusa Tenggara Timur (NTT), dan melibatkan 2.666 responden penyandang disabilitas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 66,3% responden tidak memiliki alat bantu kesehatan, sementara 75% tidak mengakses layanan terapi. Kendati 88,75% telah tercakup Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), masih ada 11,25% yang belum memiliki akses karena kendala informasi, akses, dan biaya.
Dr. Dra. Retna Siwi Padmawati, Ketua Tim Peneliti, mengungkapkan penelitian ini dilakukan sejak Juni 2023 hingga September 2024, melibatkan mitra INKLUSI, SIGAB dan YAKUM, serta kementerian terkait.
“Penelitian ini baru langkah awal dan belum mencakup seluruh ragam disabilitas. Namun, kami harap dapat menjadi advokasi kebijakan berbasis bukti yang lebih inklusif,” ungkap Retna.
Tri Hartini, perwakilan tim peneliti PKMK FK-KMK UGM, menjelaskan tiga tantangan utama dalam akses layanan kesehatan bagi penyandang disabilitas, antara lain: (1) akses fisik, yang mencakup biaya transportasi tinggi dan kurangnya pendamping; (2) infrastruktur kesehatan yang tidak inklusif, seperti jalur kursi roda dan guiding block yang minim; dan, (3) tenaga kesehatan masih kurang dalam pemahaman dan komunikasi dengan penyandang disabilitas, termasuk keterbatasan dalam bahasa isyarat.
Selain itu, penelitian menemukan bahwa BPJS Kesehatan, penyelenggara utama jaminan kesehatan di Indonesia, hanya menyediakan tujuh dari 50 jenis alat bantu yang direkomendasikan WHO. Alat bantu dengar, misalnya, membutuhkan biaya hingga Rp10 juta per telinga, sedangkan tarif yang ditanggung BPJS jauh di bawah kebutuhan riil.
Dengan demikian, melalui hasil studi ini, PKMK FK-KMK UGM mengusulkan empat langkah intervensi untuk meningkatkan inklusivitas layanan kesehatan bagi penyandang disabilitas.
Pertama, penguatan tata kelola dengan mengembangkan regulasi melalui Permenkes dan peta jalan sistem kesehatan inklusif. Kemudian, pengembangan layanan khusus, seperti posyandu bagi penyandang disabilitas dan perluasan manfaat JKN untuk alat bantu kesehatan.
Lalu, pengembangan fasilitas kesehatan yang inklusif dengan fokus pada aksesibilitas infrastruktur serta peningkatan kapasitas tenaga kesehatan. Terakhir, reformasi pembiayaan melalui skema jaminan khusus dan subsidi transportasi, terutama bagi penyandang disabilitas di daerah terpencil.
Irene Widjaya, Head of Partnerships and Policy AIPTIS/INKLUSI, menambahkan, “Kami berharap lebih banyak kelompok yang terpinggirkan dapat ikut serta dalam pembangunan sosial, budaya, dan politik di Indonesia.”
Dengan adanya rekomendasi ini, PKMK FK-KMK UGM berharap pemerintah dapat mengadopsi kebijakan yang lebih inklusif untuk penyandang disabilitas, sesuai prinsip UHC yang tidak membedakan latar belakang dan kebutuhan masyarakat.
Diseminasi ini menjadi wujud komitmen FK-KMK UGM terhadap Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) yakni Kehidupan Sehat dan Sejahtera (SDG 3), Pendidikan Berkualitas (SDG 4), Industri, Inovasi, dan Infrastruktur (SDG 9), Berkurangnya Kesenjangan (SDG 10), Konsumsi dan Produksi yang Bertanggung Jawab (SDG 12) serta Kemitraan Untuk Mencapai Tujuan (SDG 17). (Isroq Adi Subakti/Reporter).