Pentingnya Komunikasi Etis dalam Kondisi Krisis di Rumah Sakit

FK.KMK UGM. Center for Bioethics and Medical Humanities (CBMH) FK-KMK UGM kembali mengadakan agenda rutin Raboan Research and Perspective Sharing pada Rabu, 16 Oktober 2024. Kali ini, CBMH membahas deviasi komunikasi etis dalam kondisi krisis di rumah sakit melalui Zoom meeting. Bersama Direktur Utama Rumah Sakit Khusus Jiwa Dharmawangsa Jakarta, Dr. dr. Enrico Adhitya Rinaldi, M.A.R.S., M.H., M.M., CHRM., CPM(Asia)., FISQua, pembahasan tersebut bertujuan memberikan pemahaman mengenai konsep ideal kesejawatan, deviasi komunikasi saat krisis, dan solusinya.

dr. Enrico mengungkapkan, merujuk pada hasil penelitiannya bersama para rekan sejawat yang berjudul “Stigmatization and Dishonesty: How Doctors Communicate and Cope with Mental Issues among COVID-19 Patients in Indonesia” (2022), 88 persen dokter sependapat bahwa komunikasi yang buruk antara dokter dan pasien membuat pasien menganggap dokter kurang kompeten atau salah diagnosis. Padahal, dokter perlu memiliki komunikasi yang baik dan efektif tidak hanya ke pasien saja, tetapi juga kepada rekan sejawat.

Mengacu pada Kode Etik Kedokteran Indonesia dan Pedoman Pelaksanaan Kode Etik Kedokteran Indonesia, dr. Enrico menuturkan bahwa dokter harus mampu membagi kesejawatan yang ideal, menghormati, berinteraksi secara kooperatif, dan berhubungan serta berkomunikasi dengan baik antara sejawat.

“Cara menyampaikan suatu pesan mesti baik. Baik itu penyampaiannya sesuai, orangnya kompeten, dan diterima oleh komunikan – penerimanya, pasien maupun yang lain – dan mendapatkan feedback-nya dengan baik,” terang dr. Enrico.

Sementara itu, dalam menghadapi krisis di rumah sakit, ada tiga tahapan manajemen krisis yang perlu dilakukan. Ketiganya antara lain pre-crisis (deteksi sinyal, pencegahan, dan persiapan menghadapi krisis), crisis event (pengakuan krisis dan penanggulangan krisis), dan post-crisis (evaluasi dan persiapan menghadapi krisis selanjutnya, menciptakan kesan positif bagi stakeholder, dan memastikan krisis benar-benar selesai).

dr. Enrico menjelaskan, deviasi komunikasi dalam kondisi krisis akan berdampak negatif pada komunikasi internal, komunikasi dengan pasien dan keluarga, komunikasi eksternal dengan media dan publik, koordinasi dengan pemerintah dan otoritas kesehatan, dan media sosial. Oleh karena itu, diperlukan tim khusus untuk mengkomunikasikan informasi internal maupun eksternal secara konsisten dan memperkuat hubungan dengan otoritas kesehatan untuk mempercepat respons.

“Dengan mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan, etika, dan perlindungan kesehatan, prinsip ini membantu memastikan bahwa tindakan yang diambil selama krisis selaras dengan nilai-nilai moral yang mendasar dan mengutamakan kesejahteraan setiap individu,” tutup dr. Enrico.

Kegiatan ini sejalan dengan Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya SDG 3: Kehidupan Sehat dan Sejahtera, SDG 4: Pendidikan Berkualitas, dan SDG 17: Kemitraan untuk Mencapai Tujuan. (Humas: Citra).