Akhir Kehidupan dan Kualitas Hidup Bukanlah Bahasan Mendatang

FK-KMK UGM. Bagi banyak orang, obrolan mengenai akhir kehidupan dan kualitas hidup tergolong masih tabu. Secara khusus, bagi pasien pengidap penyakit maupun seseorang yang sudah masuk pada usia senja.

Advance care planning (ACP) atau perencanaan awal perawatan menjadi penting. Hal ini dibutuhkan untuk mendalami pengalaman dan preferensi perawatan pada pasien. Termasuk, ACP berguna untuk menentukan intervensi dan pengambilan keputusan antara pasien dan penyedia layanan kesehatan.

Pada seminar bertajuk “Advance Care Planning” yang berlangsung daring pada Kamis (30/5), Center for Bioethics and Medical Humanities (CBMH), Magister Bioetika Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (FK-KMK UGM) dan Unesco Chair on Bioethics UGM yang didukung oleh Amsterdam University Medical Center telah mengangkat isu ini.

Kegiatan yang berlangsung daring ini turut menghadirkan praktisi-praktisi terkait, yakni Prof. Dick Willems, MD., Amsterdam University Medical Center; Prof. Dr. Christantie Effendy, S.Kp., M.Kes. dan Martina Sinta Kristanti, S.Kep., Ns. M.N., Ph.D., FK-KMK UGM, dan; Banu Hermawan, SH, MH.Li., Komite Etik RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.

“Tantangan dan kesempatan care planning sangat unik di Indonesia, karena budaya yang beragam sehingga ini sangat sensitif, untuk itu kita perlu membuat framework yang inklusif,” sambut Dr. Dra. Retna Siwi Padmawati, MA., mewakili CBMH.

Hal senada disampaikan oleh Prof. Dick bahwa heterogenitas budaya dan agama di Indonesia menjadi salah satu tantangan utama dalam penerapan ACP di Indonesia.

“Bagaimanapun, ACP itu proses kita memberikan dukungan dan membantu mereka (pasien) dengan bagaimana memahami nilai-nilai pribadi mereka, seperti tujuan hidup, preferensi,” jelas Prof. Dick.

Hal lain disampaikan Prof. Christantie bahwa terbatasnya kesempatan berbicara pasien di Indonesia merupakan tantangan penerapan ACD di Indonesia hingga kini.

“Preferensi pasien di Indonesia itu bisa saja tergantung pada pembisiknya, ini budaya yang harus kita perhatikan,” imbuhnya.

Prof. Christantie menegaskan, jika tenaga kesehatan maupun penyedia layanan kesehatan memiliki peran penting dalam mengedukasi keluarga dan/atau kerabat pasien untuk dapat memahami preferensi pasien.

Lebih lanjut, Ia menyebutkan bahwa terbitnya Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07/MENKES/2180/2023 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Pedoman Paliatif menjadi rambu-rambu pentingnya penerapan ACP secara inklusif di Indonesia

“Belakangan ini perbincangan terkait ACP ini sudah mulai tidak tabu, namun tidak dapat dipungkiri bahwa masih sedikit masyarakat yang peduli terkait ini,” sambung Tanti.

Demikian, sinergi komunikasi antara pasien, keluarga, dan aktor layanan kesehatan adalah kunci utama dalam memperoleh keterbukaan, kesiapan, dan ambivalensi pada pasien sebagai implementasi ACP.

Hal ini termasuk bentuk komitmen pada Tujuan Pembangunan Berkelanjutan/Sustainable Development Goals (SDGs) yakni Kehidupan Sehat dan Sejahtera (SDGs 3), Kesetaraan Gender (SDGs 5), dan Berkurangnya Kesenjangan (SDGs 10). (Isroq Adi Subakti/Reporter)