FK-KMK UGM. Polemik Omnibus Law di bidang kesehatan saat ini adalah hal-hal yang terkait dengan organisasi profesi kedokteran. Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (FK-KMK UGM) menyelenggarakan Diskusi mengenai RUU Kesehatan Omnibus Law sebagai ajang tukar pikiran para tenaga kesehatan terkait RUU ini. Kegiatan dilakukan secara daring pada Sabtu (19/11).
Prof dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc. Ph.D dari FK-KMK UGM memaparkan materi terkait “Ideologi dalam Penyusunan RUU”. Menurutnya, perbedaan ideologi setiap bidang memberikan pengaruh dalam penyusunan RUU ini.
Prof. Laksono juga menjelaskan bahwa setiap negara memiliki kecenderungan yang berbeda-beda dalam merespon sebuah isu kebijakan. “Ada 2 kemungkinan terkait hal tersebut. Pemerintah yang seharusnya berfungsi untuk memerintah tidak dapat menjalankan fungsi memerintah dalam berbagai isu. Atau pemerintah terlalu dominan dan tidak memberikan ruang ke masyarakat untuk merespon berbagai isu,” jelasnya.
Hadir pula dr. Ahmad Fuady, M.Sc dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia mengungkapkan bahwa dirinya merasakan mix feeling terhadap RUU Omnibus Law. “Ini sesuatu yang sudah kita nantikan selama 10 tahun. Kita punya Perpres Tahun 2012 tentang Sistem Kesehatan Nasional, tapi ada beberapa keterbatasan yang mestinya sudah harus kita revisi,” terangnya. Kelemahan Sistem Kesehatan Nasional lebih terlihat kemarin ketika pandemi Covid-19 menyerang.
dr. Ahmad Fuady juga menjelaskan bahwa sejak sebelum pandemi sebenarnya Indonesia sudah punya sistem One Health yang menggarisbawahi pentingnya keterkaitan ketahanan kesehatan, sistem kesehatan nasional, dan one health yang dirangkum dalam 4C: collaboration, coordination, communication, serta capacity building. “Hantaman pandemi Covid-19 pada tahun 2020 menyadarkan kita bahwa pendekatan One Health harus diakomodasi ke dalam sistem kesehatan nasional,” ungkap dr. Ahmad Fuady. (Nirwana/Reporter)