Pemberdayaan Masyarakat Penting Untuk Kendalikan DBD

FK-KMK UGM. Program juru pemantau jentik (Jumantik) merupakan salah satu upaya pemberdayaan masyarakan dalam pengendalian DBD. Jumantik bahkan bisa menjadi garda terdepan dalam pengawasan DBD di masyarakat. “Kegagalan memobiliasasi modal sosial masyarakat, kurangnya ruang untuk keterlibatan masyarakat dan pedoman yang tidak jelas tentang keterlibatan dalam program pengendalian demam berdarah berbasis masyarakat menjadi alasan utama tingginya kasus DBD yang masih melanda Indonesia,” ungkap mahasiswa Program Doktor Ilmu Kedokteran dan Kesehatan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) UGM, Tri Wahyuni Sukesi, S.Si., MPH., saat menjalani ujian terbuka, Rabu (8/9) secara daring.

Tri Wahyuni juga menambahkan bahwa hasil studi pendahuluan yang dilakukan di Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman menunjukkan data bahwa kasus DBD selalu terjadi di 22 Puskesmas selama tiga tahun berturut turut.

“Pada tahun 2017 Puskesmas Gamping 1 mengalami jumlah kasus DBD paling tinggi. Program DBD yang sudah dijalankan di wilayah kerja Puskesmas Gamping 1, adalah fogging, larvasidasi, PSN DBD, jumantik, jumantik cilik (tidak semua dusun), satu rumah satu jumantik sudah digulirkan tetapi belum semua wilayah mengaplikasikan,” imbuhnya.

Dirinya juga menyatakan bahwa berdasarkan hasil wawancara dengan Bagian Kesehatan Lingkungan dan kader jumantik di Puskesmas Gamping 1, diperoleh informasi bahwa kasus DBD masih tinggi dan beberapa dusun merupakan endemis DBD. Jumantik sudah berjalan, tetapi nilai ABJ belum mencapai 95%, belum adanya pemanfaatan ovitrap dalam program pengendalian DBD, belum adanya kebijakan lokal yang mendukung pengendalian DBD. “Melihat kondisi tersebut, perlu dilakukan suatu kajian mengenai pengendalian DBD dengan melibatkan masyarakat,” tegas Tri Wahyuni.

Penelitian berjudul “Disertasi pemberdayaan masyarkat melalui model jumantik mandiri dengan aplikasi ovitrap sebagai upaya pengendalian penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Sleman Yogyakarta”, dengan promotor dr. Tri Baskoro T. Satoto, MSc., PhD., berhasil menghantarkan Tri Wahyuni meraih gelar Doktor UGM ke-5.261 dengan indeks prestasi kumulatif 3,85 (Wiwin/IRO).