FK-KMK UGM. Doktor baru Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) UGM, dr. Maria Astheria Nunik Listyani Witjaksono, MPALLC., melalui penelitiannya berupaya menyusun kriteria perawatan paliatif, mengukur pengaruh aplikasi kriteria tersebut, serta mengeksplorasi makna dokter dalam merujuk pasien dalam perawatan paliatif pasien kanker. Menurutnya, dokter yang memberikan pelayanan onkologi memiliki peran sangat penting dalam merujuk pasien ke perawatan paliatif. “Salah satu penyebab rendahnya rujukan adalah belum tersedianya kriteria kebutuhan perawatan paliatif,” tegasnya, saat menjalani ujian terbuka Program Doktor Ilmu Kedokteran dan Kesehatan FK-KMK UGM, Kamis (11/2) lalu.
Kanker merupakan penyakit kronis yang menimbulkan menimbulkan gejala fisik, gangguan psikologis, kesulitan sosial, dan masalah spiritual yang berat selama menjalani pengobatan sehingga memberikan dampak negatif terhadap kualitas hidup, biaya pengobatan dan bahkan harapan hidup. Dalam hal ini, Pasien kanker stadium terminal memerlukan perawatan medis yang berbeda dengan stadium stadium sebelumnya, yaitu dari pengobatan yang semula berpusat pada penyakit bergeser ke penatalaksanaan yang berpusat pada pasien.
“Tata laksana stadium terminal yang adekuat berfokus pada kualitas sisa hidup, kenyamanan, dan penghindaran tindakan sia-sia atau intervensi invasif yang menghalangi kematian yang tenang, damai, dan bermartabat,” tutur Maria.
Badan Kesehatan Dunia pada tahun 2015 menetapkan perawatan paliatif sebagai salah satu dari enam program prioritas penatalaksanan penyakit tidak menular. Akan tetapi, sampai saat penelitian ini dilakukan, Maria menyatakan bahwa perawatan paliatif belum berkembang dengan baik. Mengutip Hannon (2016), Maria menunjukkan bahwa pada tahun 2014, lebih dari 29 juta pasien yang meninggal memerlukan perawatan paliatif. Sembilan puluh empat persen (94%) adalah pasien dewasa dan 34% di antaranya meninggal karena kanker. Menurutnya, kebutuhan perawatan paliatif bagi pasien kanker di masa mendatang akan semakin meningkat dengan meningkatnya angka kejadian dan kematian penyakit tersebut.
Maria berpendapat bahwa ada beberapa hambatan umum pelayanan perawatan paliatif di Indonesia. Pertama, belum adanya persamaan persepsi tentang stadium terminal, perawatan paliatif, dan peranan tim multidisiplin yang dituntut bekerja secara interdisiplin, sehingga memunculkan perbedaan sikap di antara petugas kesehatan, khususnya tim kerja onkologi. Kedua, belum tersedianya kriteria kebutuhan perawatan paliatif bagi pasien kanker, serta kurangnya tenaga yang memiliki pendidikan formal khusus di bidang paliatif. Ketiga, kebijakan perawatan paliatif belum menganut model integrasi yang jelas.
Keempat, alur dan wewenang layanan Instalasi Paliatif belum secara terperinci mengatur hubungan yang jelas dengan instalasi lain, misalnya Intensive Care Unit (ICU) atau Instalasi Gawat Darurat (IGD), Instalasi Rawat Inap (IRNA) dan Instalasi Rawat Jalan (IRJ). Kelima, kurangnya pengertian masyarakat terhadap perawatan paliatif akibat kurangnya sosialisasi, serta belum masuknya program perawatan paliatif dalam sistem JKN. Keenam, layanan perawatan paliatif secara luas belum tersedia, sehingga menyebabkan masyarakat masih berpegang pada keyakinan bahwa pasien stadium terminal sebaiknya dirawat di rumah sakit. Ketujuh, Panduan praktek klinik dan Standard Operasional Procedure (SOP) sudah tersedia namun Clinical Pathway (CP) belum disusun.
“Keterlibatan perawatan paliatif yang tepat waktu diperlukan agar pasien dapat memperoleh kualitas hidup terbaik, penatalaksanaan gejala yang adekuat dan kepuasan keluarga, mengurangi beban keluarga dan mengurangi tindakan agresif pada fase akhir kehidupan,” tuturnya.
Penelitian yang sebelumnya dipromotori Almarhum Prof. dr. Iwan Dwiprahasto, M.Med.Sc., PhD., dan kemudian dilanjutkan oleh Prof. dr. Adi Utarini, MSc., MPH., PhD ini berhasil mengantarkan Maria meraih gelar Doktor UGM ke- 5.017, dengan menyandang predikat Cumlaude, IPK: 3,95. (Wiwin/IRO)