Mendiskusikan Kebijakan Pendidikan Residen di Era Pandemi, Pasca UU Dikdok 2013

FK-KMK UGM. Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FK-KMK) UGM menggelar diskusi webinar “Mencari Kebijakan yang Tepat untuk Pendidikan Residen Pasca UU Pendidikan Kedokteran 2013 di Era Pandemi Covid-19, Kamis (13/8).

Diskusi ini menghadirkan staf Dosen FK-KMK UGM, yang juga sebagai tenaga pendamping ahli penyusunan UU Pendidikan Kedokteran 2012-2013, Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc., PhD sebagai pembicara. Sedangkan sebagai pembahas, menghadirkan Pimpinan Badan PPSDM Kementerian Kesehatan RI, Prof. dr. Abdul Kadir, SpTHT(K); Dekan FK-KMK UGM, yang juga menjabat sebagai Ketua Asosiasi FK Negeri, Prof. dr. Ova Emilia, M.Med.Ed., PhD., SpOG(K); Ketua Asosiasi RS Pendidikan Indonesia (ARSPI), dr. Andi Wahyuni, SpAn(K); dan Ketua Bidang Pengembangan Pendidikan Kedokteran, PB IDI, dr. Titi Savitri, M.Med.Ed., PhD.

“Dalam masa pandemi Covid-19 ini terjadi situasi di mana residen menjadi topik bahasan, mereka berada di tempat berisiko, tidak jelas statusnya, sudah ada yang meninggal, insentif juga masih diperjuangkan. Realitas saat ini masih belum sama dengan apa yang menjadi visi UU Pendidikan Kedokeran 2013,” ungkap Prof. Laksono di awal presentasinya.  Bahkan, sebagai salah satu alternatif solusi, Prof. Laksono menawarkan bentuk semi hospital based dalam pengelolaan pendidikan kedokteran.

Menanggapi paparan pembicara, Prof. Ova menyampaikan bahwa memang dalam UU Pendidikan Kedokteran terdapa 3 hak yang diperoleh residen. Ketiga hak tersebut yang menurutnya perlu untuk dijaga dan merupakan kewajiban institusi pendidikan maupun rumah sakit.

“Pendidikan profesi itu tidak murni seperti pendidikan akademik. Ia suatu pendidikan dan pelayanan. Kita ingin mengetahui keseimbangan antara yang dididik dengan kebutuhan di lapangan, sehingga peta itu penting, berapa yang direkrut di mana distribusi itu akan ditempatkan, ini menjadi tanggungj awab baik antara pendidikan dan pelayanan,” paparnya.

Prof. Ova juga sepakat bahwa UU Pendidikan Kedokteran yang dicetuskan tujuh tahun lalu tersebut menjadi  bentuk perhatian khusus dari pemerintah terhadap pendidikan dokter itu  sendiri. Namun, menurutnya, sampai dengan saat ini masih banyak tantangan maupun kesulitan untuk merealisasikannya.

Sedangkan dr. Andi Wahyuni lebih menekankan pada upaya pengaturan bersama, sehingga tidak menjadi beban di rumah sakit. “Misalnya berapa kuota di rumah sakit pendidikan utama dan rumah sakit pendidikan jejaring bisa kita optimalkan bersama. Jadi saat fakultas kedokteran menerima peserta didik itu sudah sesuai dengan kuota masukan RS pendidikan utama dan jejaring,” ungkapnya.

Dokter Titi Savitri lebih cenderung menyepakati perlunya perbaikan kebijakan terkait PPDS. Untuk Prof. Abdul Kadir menyatakan bahwa di UU Pendidikan Kedokteran 2013 pasal 31 ayat b menyatakan bahwa mahasiswa itu berhask mendapatkan insentif di wahana pendidikan. Namun, Prof. Abdul Kadir menekankan perlunya pembagian peran rumah sakit dan institusi pendidikan. “Di beberapa rumah sakit itu, tidak ada dasar hukum untuk membayar, harus ada solusi bersama, kalau dibebankan ke RS Pendidikan, karena pada penerimaan itu RS Pendidikan dilibatkan. Yang harus dipahami itu denagn adanya proses pendidikan, di RS Pendidikan ada marginal cost, biaya tambahan, saya kira yang ini kita harus duduk bersama,” paparnya.

Saat ini terjadi diskusi menarik mengenai peran dan posisi residen dalam penanganan COVID-19. Berdasarkan catatan sejarah, di Indonesia kebijakan mengenai  pendidikan residen sudah diatur dalam UU Pendidikan Kedokteran 2013 yang menyatakan mengenai kewajiban dan hak residen. Salah satu hal yang visioner dalam UU tersebut adalah pengaturan hak residen adalah mendapatkan insentif dari rumah sakit. Hal ini belum pernah diatur dalam UU manapun. Akan tetapi sampai sekarang UU tersebut belum secara efektif dijalankan.  Ketika COVID-19 merebak pada 2020, maka terlihat ada permasalahan dalam mengelola residen, juga sudah ada residen yang terkena penyakit dan ada yang meninggal. Hal ini perlu dibahas untuk mencari solusi kebijakan terbaik. (Wiwin/IRO)

Berita Terbaru