Ekstrak Buah Jambu Mete Cegah Kanker Usus

FK-KMK UGM. Tim mahasiswa UGM, Kavi Gilang P., Anindita Fabiola R., Titan Rahmadien C., di bawah asuhan pakar Farmakologi FK-KMK UGM, Rustamaji, menggiatkan penelitian menggunakan jambu mete yang akan diekstraksi dengan pelarut ethanol 96% lalu akan di kromatografi lapis tipis untuk memisahkan berbagai senyawa sehingga akan didapatkan senyawa aktif yang diinginkan yaitu senyawa flavonoid yang memiliki aktivitas sebagai anti karsinogenik. Hasil ekstrak tersebut akan diuji secara invitro terhadap sel kanker kolon WiDr yang telah di kultur sebelumnya dan dilihat efek anti karsinogenik pada senyawa aktif dari ekstrak tersebut melalui uji sitotoksisitas, uji jalur apoptosis, uji anti inflamasi dan uji molekuler docking.

Jambu Mete (Anacardium occidentale L.) memiliki kandungan antioksidan yang tinggi. Pada tumbuhan jambu mete dibuktikan dapat mencegah pembentukan radikal bebas 1,1-diphenyl-2-picrylhydrazide peroxide. Kandungan antimikroba pada buah semu jambu mete mengandung 2-hydroxy-6-pentadecylbenzamide yang dapat melawan s.aureus dan E.coli (Mulyono, et al., 2012). Pada buah semu jambu mete memiliki kandungan anthocyanins dengan golongan cyanidin dan peonidin. Anthocyanin memiliki kemampuan dalam mengobati penyakit seperti disfungsi liver, hipertensi, gangguan penglihatan, infeksi mikroba, dan diare, sebagai pencegahan dari age-related macular degeneration, aktivitas anti cancerogenic, kapasitas antioksidan, anti ulcer, dan penurunan risiko kardiovaskular (Pdpersi.co.id, 2012).

Dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi berupa pengaruh ekstrak buah semu jambu mete sebagai anti inflamasi dan anti karsinogenik pada sel kanker kolon WiDr dan menjadikan ekstrak buah semu jambu mete menjadi produk herbal anti inflamasi dan anti karasinogenik berbasis target terapi.

Kanker kolon merupakan kanker dengan prevalensi tertinggi ketiga pada laki-laki dan kedua pada perempuan di seluruh dunia (Ferlay, et al., 2014). Pada tahun 2018 terdapat peningkatan jumlah penderita kanker kolon sebanyak 1.800.977 kasus baru dan mencapai 10,6% dari seluruh kanker yang terdiagnosis (World Cancer Research Fund International, 2018). Penggunaan obat kemoterapi secara terus menerus akan menyebabkan terjadinya resistensi dalam pengobatan kanker kolon (Hammond, et al., 2015). Maka perlunya untuk dilakukan sebuah pengembangan obat baru yang dapat mengatasi resistensi dan efek samping agen kemoterapi sitotoksik konvensional yang lebih berpotensi dalam pengobatan kanker kolon. (Wiwin/IRO; Foto: dok. pribadi)