Resistensi pada Obat Anti Malaria

FK-KMK UGM. Papua merupakan daerah yang menyumbang angka tertinggi prevalensi malaria di Indonesia. Selain itu, di beberapa daerah lainnya malaria masih eksis sebagai salah satu penyebab pesakitan hingga saat ini. Kalimat tersebut diutarakan oleh dr. Elsa Herdiana, Ph.D saat membuka kegiatan kuliah tamu (guest lecture) bersama dengan Prof. Malika Imwong, pakar biologi molekuler di bidang malaria.

Diinisiasi oleh Departemen Kedokteran Tropis, kuliah tamu bertemakan Molecular Epidemiology of Anti Malaria Drug Resistence tersebut diselenggarakan pada Senin (29/4). Bertempat di ruang auditorium Gedung Tahir lantai 1, Prof. Malika yang juga merupakan Kepala Laboratorium Biologi Molekuler Malaria, Mahidol University Thailand memulai kuliah dengan menyebutkan beberapa jenis terapi kombinasi untuk malaria.

Dalam kuliah tersebut, ia juga memaparkan hasil risetnya yang berbicara tentang resistensi penggunaan obat anti malaria di wilayah sekitar Thailand, Kamboja dan Vietnam. “Beberapa obat anti malaria seperti artemisin diketahui resisten setelah 10 hingga 15 tahun digunakan, bahkan beberapa jenis anti malaria lainnya ketika dikonsumsi justru menyebabkan resistensi yang lebih cepat yakni sekitar enam tahun,” jelas Prof. Malika saat menjawab pertanyaan yang diajukan oleh audiens.

Selain itu, saat kuliah berlangsung, beberapa audiens tampak tergelitik mengajukan pertanyaan. Kepada Prof. Malika, salah seorang audiens dari program studi S2 kedokteran tropis bertanya tentang kejadian malaria monyet (plasmodium knowlesi) yang akhir-akhir ini menjadi isu hangat sebab ditengarai dapat menular dari monyet ke manusia.

Lebih lanjut, Prof. Malika menegaskan bahwa penelitian tentang malaria menjadi hal penting sebab dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah untuk membuat kebijakan di bidang keimigrasian antar negara, utamanya bagi negara yang memiliki latar belakang endemi malaria. (Alfi/Reporter)